Sabtu, 13 April 2013


SEJARAH, TOKOH, DAN PEMIKIRAN ALIRAN AL-KHAWARIJ
BAB I
PENDAHULUAN
1.1            Latar Belakang
Kisah riuh-rendah bunyi genderang peperangan pada masa-masa kekhalifahan ketiga dan keempat tidak hanya mempunyai implikasi politik yang tajam, tapi meningkat kepada persoalan-persoalan teologis, yang kemudian melahirkan empat aliran besar, yaitu al-Khawarij, al-Murjiah, al-Mu’tazilah dan Syi’ah. Disamping itu faktor sosiologis juga berperan dalam memperuncing  polarisasi tersebut. Keempat aliran ini merupakan “siklus reaksi-aksi dan reaksi”.
Aliran al-Khawarij adalah reaksi terhadap Perang Shiffin (Juli 657 Masehi) yang melibatkan kelompok khalifah al-Khulafa-ur-Rasyidin ke-4 Ali bin Abi Thalib dan gubernur Damskus Mua’wiyah bin Abi Sufyan. Dalam upaya mengakhiri perang, keduanya bersepakat menyelesaikannya dengan cara tahkim (arbitrase). Hasil arbitrase tersebut telah dinilai menyimpang dari Islam dan mendorong munculnya pemikiran kaum al-Khawarij. Inti pemikiran tersebut adalah baik golongan Ali maupun Mu’awiyah telah menyimpang dari Islam dan karena itu tidak berhak menyatakan diri sebagai bagian dari kaum muslim alias kafir. Konsekuensinya secara legal, darah kedua tokoh tersebut halal dirumpahkan.
Makalah ini akan membahas lebih jauh tentang sejarah, tokoh dan pemikiran aliran al-Khawarij tersebut untuk memahami salah satu aliran teologi atau aliran ilmi kalam.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah pertumbuhan al-Khawarij?
2.      Apa saja sub sekte dalam aliran al-Khawarij?
3.      Siapa saja tokoh aliran al-Khawarij?
4.      Bagaimana pemikiran al-Khawarij?
1.3            Tujuan
Untuk mengenal lebih dekat perdebatan aliran-aliran teologi di dalam islam khususnya aliran al-Khawarij, yang selalu menjadi salah satu acuan perkembangan pemikiran Islam kontemporer. Dan mengetahui sejarah dan sub sekte, ajarah, serta tokoh aliran al-Khawarij.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pertumbuhan Al-Khawarij
            Peristiwa perang Shiffin antara pengikut Ali dengan kelompok oposisi Muawiyah telah menggeser persoalan politik menjadi persoalan teologi. Ketika pertahanan Muawiyah mulai terdesak akibat gempuran pasukan Ali, pihak Muawiyah secara sepihak meminta gencatan senjata (cease fire) dengan cara mengangkat Al-Quran dan memawarkan tahkim (arbitrase). Permintaan ini membuat kubu pasukan Ali retak antara kelompok yang setuju dan kelompok yang tak setuju. Namun akhirnya Ali dengan segala keikhlasan dan kejujurannya menyetujui arbitrase, yang merupakan siasat licik pihak lawannya untuk menjatuhkannya. Sikap ini membuat kelompok yang tak setuju keluar dari barisan Ali dan kemudian disebut sebagai kelompok al-Khawarij. Mereka menuduh Ali tidak menelesaikan masalah berdasarkan hukum Allah yang terdapat di dalam Al-Quran. Karena itu Ali dicap sebagai kafir, sesuai dengan ayat Al-Quran, Surah al-Midah (5): 44:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَ اَنْزَلَ اللَّهُ فَأوَلَءِكَ هُمُ الْكَا فِرُونَ
            Dan dari ayat inilah mereka menggunakan semboyan لاَ حُكْمُ إلاَّ اللَّهُ  (tiada hukum kecuali dari Allah).
            Nama al-Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama ini diletakkan pihak lain kepada mereka karena mereka keluar dari pasukan Ali. Nama lain Huraryiah dari kata Harura, sebuah tempat di dekat Kufah, Irak. Di sini berkumpul sebanyak 12.000 orang, yang memisahkan diri dari Ali dan mengangkat Abdullah bin Wahab ar-Rasyidi sebagai pemimpin mereka. Ali berusaha membujuk mereka kembali bergabung. Mereka menolak kecuali Ali mengakui bahwa ia telah kafir dan segera harus bertaubat serta membatalkan tahkim.
            Sedangkan nama al-Khawarij, menurut versi merek sendiri berasal dari Surah an-Nisa (4) ayat 100:
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَا جِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
            Siapa yang keluar dari rumahnya untuk hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ayat ini menjelaskan bahwa mereka keluar dari tempat asal mereka demi mengabdikan diri kepada Tuhan dan Rasul-Nya. Sebutan lain yang mereka pergunakan adalah sebagai شراة (para penjual). Artinya, mereka menjual atau mengorbankan diri mereka untuk mendapatkan ridha Allah, seperti terdapat dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 207:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّه واللَّهُ رَءُ فٌ بِا لعِبَادِ
            Dalam persoalan pemilihan khalifah, kaum al-Khawarij berpendapat bahwa khalifah haruslah dipilih secara bebas oleh umat Islam. Jabatan khalifah tidak hanya dimiliki suku Quraisy, bukan orang arab, tetapi seorang budak pun boleh dipilih. Khalifah yang dipilih haruslah Islam, bersikap adil dan melaksanakan syariat Islam. Bila menyimpang, darahnya dihalalkan untuk dibunuh.
            Sikap pemilihan bebas tersebut mencerminkan kedemokrasian kaum al-Khawarij, yang sangat bertentangan dengan sikap suku Quraisy yang sangat elitis ketika itu. Pada umumnya, pengikut kaum al-Khawarij berasal dari kaum Badawi yang berdiam di padang pasir yang gersang. Mereka hidup secara nomaden sehingga membuat mereka hidup dalam kesederhanaan, miskin, tidak terpelajar, keras hati, berani, dan merdeka. Sikap demokrasi ini sesuai nilai tradisi “tribal democracy” masyarakat Badawi.
            Namun, perkembangan kaum al-Khawarij selanjutnya menjadi suatu kelompok yang ekstrem dan ekslusif sebagai reaksi mempertahankan nilai-nilai Badawi yang semakin teralinasi akibat tekanan politik. Hal ini terlihat pada legitimasi doktrin-doktrin teologis yang bersumber dari ayat-ayat Al-Quran, yang diambil secara lahiriah sebagai pencerminan sikap Badawi. Mereka mengakui kekhalifahan pertama dan kedua, dan menolak tahun ketujuh kekhalifahan Utsman dan kekhalifahan Ali setelah setelah arbitrase karena dianggap menyeleweng dari ajaran Islam. Termasuk mereka yang terlibat dalam arbitrase. Mereka yang keluarganya menjadi korban dalam perang Nahrawan, 17 Juli 658. Lebih lanjut perkembangan term kafir meningkat menjadi term musyrik sesuai dengan perkembangan kelompok al-Khawarij.
2.2 Sub-Sub Sekte dalam Al-Khawarij
            Perkembangan term kafir telah menyebabkan terjadinya perpecahan dalam tubuh al-Khawarij. Ada yang menyebutkan mereka terpecah ke dalam 18 sub sekte. Ada pula yang berpendapat 20 bahkan lebih dari jumlah tersebut. Dan dalam perjalanan sejarahnya, hanya beberapa sub sekte yang dianggap besar dan mewakili sub sekte yang lebih kecil. Antara lain, al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, al-‘Ajaridah, al-Sufriyah, dan al-Ibadiyah.
1.      Al-Muhakkimah
Kata al-Muhakkimah diambil dari semboyan mereka لاَ حُكْمُ إِلاَّاللَّهُ. Mereka disebut juga salaf al-Khawarij (pengikut al-Khawarij pertama). Mereka berpendapat bahwa Ali, Muawiyah, Amr bin al-Ash, Abu Musa al-Asy’ari, dan orang-orang yang membenarkan arbitrase dianggap bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir dikembangkan lagi dengan memasukkan orang yang berdosa besar. Berzina, mencuri, membunuh, dan pelaku dosa besar lainnya dihukumi kafir.
2.      Al-Azariqah
Sub sekte ini merupakan kelompok yang paling ekstrem di antara kelompok lainnya. Nama ini diambil dari pemimpinnya sendiri yang bernama, Nafi bin al-Azraq. Pengikut barisan  ini cukup besar dengan kekuatan 20.000 orang. Secara politis mereka menguasai daerah perbatasan Irak dengan Iran.
Keekstreman ajaran mereka terletak pada perluasan term kafir menjadi musyrik. Syirik adalah dosa terbesar dalam ajaran Islam. Prinsip ajaran mereka sebagai berikut.
a.       Orang Islam menjadi musyrik bila melakukan dosa besar, tidak sepaham dengan mereka atau setengah-setengah karena tidak mau berhijrah dan berpengan.
b.      Orang musyrik halal dibunuh dan mereka sekeluarga kekal dalam neraka.
c.       Wanita dan anak-anak yang tak sekelompok juga halal dibunuh.
d.      Pencuri dihukum potong tangan.
e.       Praktik taqiyah (menyembunyikan sikap) dilarang baik lisan dan perbuatan.
f.        Hukum rajam tidak diterapkan kepada pezina karena hukum tersebut tidak tercantum dalam Al-Quran.
g.       Orang yang berbeda paham termasuk daral-harbdan dihalalkan untuk dibunuh. Bagi yang menolak ikut peperangan dianggap berdosa dan boleh dibunuh.
3.      Al-Najdat
Sebenarnya kelompok ini merupakan persekutuan dari kelompok yang ingin bergabung dan kelompok yang memisahkan diri dengan al-Azariqah. Pemisahan diri ini disebabkan karena mereka tidak sependapat dalam memusyrikan orang-orang yang tidak mau berhijrah dan menghalalkn darah anak-anak dan istri orang Islam yang tidak sepaham. Tokoh kelompok ini bernama, Abu Fudaik dan teman-temannya, berhasil membujuk Najdat yang bergabung dengan al-Azariqah dan kemudian ia menjadi imam kelompok ini.
            Pokok-pokok ajaran mereka sebagai berikut.
a.       Orang yang berbuat dosa besar menjadi kafir dan kekal dalam neraka bila tak sepaham dengan golongannya. Sebaliknya, golongannya yang berbuat dosa besar tetap masuk surga meski melalui siksaan tetapi tidak masuk neraka.
b.      Dosa kecil dapat menjadi besar bila sudah terbiasa dan ia termasuk musyrik.
c.       Diperbolehkan taqiyah untuk menjaga keselamatan diri.
d.      Ahlu Zimmah yang berdiam dengan musuh kelompok al-Najdat halal dibunuh.
e.       Yang menolak ikut berhijrah dan berperang tidak dicap kafir.
f.        Kewajiban setiap muslim (al-Najdat) untuk mengetahui Allah dan Rasul-Nya, mengetahui pengharaman pembunuhan terhadap muslim dan percaya kepada segala wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Orang yang tak mengetahui takkan diampuni kesalahannya. Mengerjakan perbuatan yang haram tanpa pengetahuan dapat dimaafkan.
Kelompok ini pada akhirnya mengalami perpecahan karena Najdat dianggap tidak konsisten terhadap ajaran kelompok sehingga menyebabkan ia terbunuh.
4.      Al-‘Ajaridah
Kelompok ini adalah pengikut Abdul Karim bin Ajrad, teman Atiah al-Hanafi, tokoh yang mengasingkan diri dari al-Najdat. Kelompok ini dikafirkan oleh umat Islam karena penolakan mereka atas Surah Yusuf dengan alasan berbau seks dan tak pantas. Pokok ajaran mereka sebagai berikut.
a.       Harta boleh dijadikan rampasan hanya dari orang yang terbunuh dan boleh membunuh musuh.
b.      Anak-anak orang musyrik tidak otomatis menjadi musyrik.
c.       Hijrah bukanlah merupakan kewajiban tapi kebajikan.
5.      Al-Sufriyah
Kelompok ini dipimpin oleh Zaid bin al-Asfar. Pemikiran kelompok ini dekat dengan al-Azariqah yang beraliran ekstrem. Namun mereka tidak seekstrem al-Azariqah seperti terlihat dalam pokok ajaran mereka.
a.       Yang tidak berhijrah tidak dicap kafir.
b.      Mereka tidak berpendapat anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c.       Tidak semua yang berbuat dosa besar menjadi musyrik. Dosa besar ada dua dan masing-masing mempunyai sanksi dunia dan akhirat. Sanksi dunia seperti berzina dianggap tidak kafir. Sedangkan sanksi akhirat, seperti tidak shalat dianggap kafir.
d.      Daerah yang tidak sepaham bukan dianggap sebagai dar al-harb tapi terbatas pada pertahanan pemerintahan. Anak-anak dan wanita tidak boleh dijadikan tawanan.
e.       Kafir terbagi dua, yaitu kafir mengingkari rahmat Tuhan dan kafir mengingkari Tuhan. Term kafir di sini berarti tidak selalu berarti keluar dari Islam.
f.        Taqiyah diperbolehkan secara lisan bukan secara perbuatan.
g.       Wanita Islam diperbolehkan kawin dengan pria kafir di daerah bukan Islam.
6.      Al-Ibadiyah
Kelompok ini dianggap kelompok yang paling moderat di antara kelompok lainnya. Namanya berasal dari Abdullah bin Ibad, yang memisahkan diri dari al-Azariqah. Paham mereka seperti berikut.
a.       Orang yang tak sepaham dengan mereka disebut kafir nikmat, bukan mukmin dan bukan pula musyrik. Darah orang kafir nikmat haram untuk ditumpahkan dan daerahnya disebut dar al-tauhid. Daerah perang terbatas pada barak militer pemerintah.
b.      Berbuat dosa besar disebut muwahhid (orang yang mengesakan Tuhan), tapi tidak mukmin, ia kafir nikmat dan bukan kafir millah. Kata lain dosa besar tidak membuat orang keluar dari Islam.
c.       Kesaksian orang kafir nikmat dapat diterima, perkwinan, dan melaksanakan warisan diperbolehkan.
d.      Yang boleh dirampas dalam peperangan hanyalah kuda dan senjata, sedang emas dan perak harus dikembalikan kepada pemiliknya.
e.       Mereka tidak memperbolehkan merokok, mendengar musik, pertandingan, kemewahan, dan hidup membujang.
Sikap moderat ajaran ini membuat tetap bertahan dan hidup sampai sekarang, terutama  di Oman, Jazirah Arabia, Afrika Utara, dan banyak di tempat lain. Sementara golongan radikal telah hilang dalam pelukan sejarah. Namun demikian, pengaruh pemikiran mereka masih tetap ada sampai masa kini.
2.3 Tokoh-Tokoh Khawarij
            Tokoh-tokoh al-Khawarij adalah ketua dari sub-sub sekte yang terdapat dalam aliran al-Khawarij. Diantaranya.
1.  Abdullah ibn Wahhab Al-Rasyibi pemimpin sekte Al-Muhakkimat. Beliau adalah tokoh utama dari 12.000 orang yang keluar dari barisan Ali r.a. dan menjadikan Haruriah sebagai basis pergerakan. Di desa itu, Abdullah bersama kroninya mendirikan “khilafah baru” dengan pemimpinnya Abdulllah sendiri.
2.  Nafi’ ibn al-Azraq merupakan salah seorang pengikut sekte Muhakkimah yang tersisa dalam peperangan di Nahrawan. Bersama kroni-kroninya, ia kembali menyebarkan paham khawarij dengan berganti baju Al-Azariqah
3.  Najdah ibn Amir al-Hanafi, pemimpin sekte al-Najd, merupakan koalisi dari beberapa tokoh Khawarij –seperti Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil, Atiah Al-Hanafi, dan Najdah sendiri– akibat kekecewaan terhadap kepemimpinan Nafi’ Al-Azraq.
4.    Abdullah bin Ibad, yang memisahkan diri dari al-Azariqah.
5. Zaid bin al-Asfar, pemimpin sekte Al-Sufriyah yang memiliki pemikiran yang kurang ekstrem bila di banding dengan al-Azariqah.
6. Abdul Karim bin Ajrad, pemimpin sekte al-‘Ajaridah, teman Atiah al-Hanafi, tokoh yang mengasingkan diri dari al-Najdat.
            Selain beberapa tokoh ini, masih terdapat tokoh-tokoh lain yang menjadi pemimpin sub-sub sekte kecil atau pun sub-sub sekte besar lainnya.
2.4 Pemikiran Aliran Khawarij
            Diantara pemikiran-pemikiran pokok al-Khawarij adalah sebagai berikut.
           1.       Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
           2.       Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memiliki syarat.
           3.       Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.
           4.       Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
           5.       Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng dan telah menjadi kafir.
           6.       Pasukan Perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
           7.       Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
           8.       Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (negara musuh), sedangkan golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-Islam (negara Islam).
           9.       Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
         10.     Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam neraka).
         11.     Amar ma’aruf nahi munkar.
         12.     Memalingkan ayat-ayat Al-Quran yang tampak mutasabihat (samar).
         13.     Quran adalah makhluk.
         14.     Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·          Aliran al-Khawarij adalah reaksi terhadap Perang Shiffin (Juli 657 Masehi) yang melibatkan kelompok khalifah al-Khulafa-ur-Rasyidin ke-4 Ali bin Abi Thalib dan gubernur Damskus Mua’wiyah bin Abi Sufyan. Dimana al-Khawarij merupakan kelompok dari Ali yang tidak setuju dengan arbitrase dan memutuskan keluar dari kelompok Ali.
·          Sub-sub sekte dalam al-Khawarij antara lain, al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, al-‘Ajaridah, al-Sufriyah, dan al-Ibadiyah. Dan masih banyak lagi sub-sub sekte lainnya baik yang kecil maupub yang besar.
·          Tokoh-tokoh al-Khawarij diantaranya Abdullah ibn Wahhab Al-Rasyibi, Nafi’ ibn al-Azraq, Najdah ibn Amir al-Hanafi, Abdullah bin Ibad, Zaid bin al-Asfar, Abdul Karim bin Ajrad, dan sebagainya.
·          Pemikiran kaum Khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori: politik, teologi, dan sosial. Bila pemikiran teologi-sosial ini benar-benar merupakan pemikiran Khawarij, dapat diprediksikan bahwa kelompok Khawarij pada dasarnya merupakan orang-orang baik. Hanya saja, keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas penganut garis keras, yang aspirasinya dikucilkan dan diabaikan penguasa, ditambah oleh pola pikirnya yang simplistis, telah menjadikan mereka bersikap ekstrim.
3.2 Saran
            Makalah ini membahas sedikit mengenai aliran Khawarij, untuk lebih memahami lebih jauh tentang aliran-aliran ilmu kalam lain atau lebih khususnya al-Khawarij dapat dipelajari lebih lanjut didalam buku-buku mengenai ilmu kalam dan aliran-alirannya atau bahkan dapat diakses di internet.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak & Rosihon Anwar. 2010. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia.
M. Amin Nurdin & Afifi Fauzi Abbas. 2012. Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam. Jakarta: Amzah.

Minggu, 07 April 2013

HAKIKAT EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM
(Mengurai Permasalahan PAI dalam Ujian Nasional)
Oleh Ilmi Islamia Nur
A. Pendahuluan
            Ujian Nasional (UN) memang merupakan salah satu bagian dari fenomena-fenomena unik yang ada di negaranya ini. Ujian Nasional (UN) merupakan agenda tahunan yang bisa memunculkan beragam cara pandang. Bagi seorang siswa Ujian Nasional (UN) bisa jadi merupakan momok yang senantiasa menghantui mereka, bagi seorang tukang becak UN adalah ritual pemerasan yang menyesakkan dada karena mereka harus melunasi semua tunggakan SPP jika anak mereka ingin bisa ikut ujian. Bagi seorang bisnisman dan lembaga bimbingan belajar, agenda ini merupakan lahan subur untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan tidak hanya bisnisman, para aktor pendidikanpun ikut-ikutan berbisnis dan panen uang saat Ujian Nasional (UN) menjelang. Contohnya seperti penjualan soal bocoran, penambahan anggaran tetek bengek dengan alasan demi suksesnya UN dan berbagai macam bisnis kamuflase lainnya.[1]
            Berbagai media cetak dan media sosial mencoba membahas masalah ini dengan sangat serius. Masalah ini lebih berkembang ketika dilakukan uji coba terhadap mata pelajaran agama Islam kedalam UN, banyak sekali masyarakat yang menanggapi masalah ini, mulai dari penulis, jurnalistik, rakyat biasa, sampai para tokoh pendidikan dan pejabat. Ada berbagai macam tanggapan dalam hal ini, mulai dari positif sampai negatif.
            Masalah utama yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai haruskah mata pelajaran PAI diikutsertakan dalam Ujian Nasional (UN)?
            Selain mengenai masalah itu makalah ini juga akan menyertakan beberapa hal mengenai evaluasi yang berhubungan dengan masalah di atas.
            Tujuan penyusunan serta pembahasan makalah ini adalah agar mata pelajaran PAI lebih diperhatikan lagi, mulai dari makna pelajaran tersebut serta penerapannya dalam pendidikan dan cara evaluasi mata pelajaran ini.
B. Pengertian Evaluasi
            Secara etimologi evaluasi berasal dari bahasa Inggris, evaluation yang berarti penilaian dan penaksiran. Dalam bahasa Arab, dijumpai istilah imtihan yang bearti ujian, dan khataman yang bearti cara menilai hasil akhir dari proses kegiatan.[2]
            Benjamin Bloom mengartikan evaluasi sebagai kumpulan realitas yang disusun secara sitematis guna memperoleh pengetahuan mengenai terjadi tidaknya perubahan anak didik. Evaluasi merupakan proses pendeskripsian dan informasi tentang hasil tindakan yang telah dinilai yang akan dijadikan bahan pertimbangan pengambilan keputusan.[3]
C. Manfaat Evaluasi
            Evaluasi mempunyai manfaat bagi berbagai pihak. Evaluasi hasil belajar siswa bermakna bagi semua komponen dalam proses pengajaran, terutama siswa, guru, pembimbing/penyuluh, sekolah, dan orang tua siswa.
1.      Manfaat bagi Siswa
            Hasil evaluasi memberikan informasi tentang sejauh mana ia telah menguasai bahan pelajaran yang disajikan guru. Dengan informasi ini siswa dapat mengambil langkah-langkah yang sesuai.
2.      Manfaat bagi Guru
            Hasil evaluasi memberikan petunjuk bagi guru mengenai keadaan siswa, materi pengajaran, dan metode mengajarnya.
a)      Keadaan Siswa
Karena hasil yang diperoleh dari evaluasi itu adalah hasil yang dicapai oleh tiap siswa, hasil evaluasi tersebut memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan belajar tiap siswa serta letak kesulitan belajar yang dialami oleh mereka.
b)     Keadaan materi pengajaran
Hasil evaluai pun dapat memberikan gambaran bagi guru tentang daya serap siswa atas materi pengajaran yang disajikan.
c)      Keadaan metode pengajaran
Hasil evaluasi dapat menunjukkan tepat tidaknya metode mengajar yang dipergunakan oleh guru dalam menyajikan suatu materi tertentu.
3.      Manfaat bagi Pembimbing/Penyuluh
            Bimbingan dan penyuluhan umumnya diarahkan kepada usaha peningkatan daya serap siswa serta penyesuaian siswa dengan lingkungannya. Upaya bimbingan dan penyuluhan akan lebih terarah kepada tujuannya apabila ditunjang oleh informasi yang akurat tentang keadaan siswa, baik dari segi intelektualnya maupun dari segi emosionalnya. Untuk memperoleh informasi akurat yang diinginkan itu, evaluasi memegang peranan penting.
4.      Manfaat bagi Sekolah
            Keberhasilan kegiatan belajar-mengajar ditentukan pula oleh kondisi belajar yang diciptakan sekolah. Efektivitas kegiatan belajar-mengajar yang dipersyaratkan antara lain oleh kondisi belajar yang diciptakan sekolah itu informasinya melalui evaluasi. Hasil evaluasi yang diperoleh itu dapat dipakai sekolah untuk mengintropeksi diri untuk melihat sejauh mana kondisi belajar yang diciptakannya membantu terselenggaranya pengajaran dengan baik.
5.      Manfaat bagi Orang Tua Siswa
            Semua orang tua ingin melihat sejauh mana tingkat kemajuan yang dicapai anaknya di sekolah, meskipun pengetahuan itu tidak menjamin adanya upaya dari mereka untuk peningkatan kemajuan anaknya. Oleh karena itu setiap caturwulan atau semester, sekolah memberikan laporan kemajuan siswa kepada orang tuanya dalam bentuk buku rapor. Yang ada dalam buku rapor itu tidak lain dari hasil evaluasi yang dibuat oleh guru dan semua petugas sekolah terhadap siswa.[4]
D. Evaluasi dalam Pendidikan Islam
            Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku manusia didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental psikologi dan spiritual-religius, karena manusia hasil pendidikan Islam adalah sosok pribadi yang tidak hanya bersikap religius, melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya.
            Sasaran-sasaran dari evaluasi pendidikan Islam secara garis besarnya meliputi empat kemampuan dasar manusia didik yaitu.
1.      Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan pribadi dengan Tuhannya.
2.      Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
3.      Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupan dengan alam sekitarnya.
4.      Sikap dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakat serta selaku khalifah di muka bumi (sebagai pemukiman di lingkungan hidup).
            Sasaran-sasaran evaluasi tersebut dirumuskan ke dalam item-item pertanyaan atau statement-statement yang disajikan kepada manusia didik untuk ditanggapi. Hasil dari tanggapan mereka kemudian dianalisis secara psikologis, karena yang menjadi pokok persoalan evaluasi adalah sikap mental dan pandangan dasar dari mereka sebagai manifestasi dari keimanan dan ke Islaman serta ilmu pengetahuan.[5]
E. Pengembangan Teknik Evaluasi Pendidikan Islam
            Uraian tentang pengembangan teknik evaluasi pendidikan Islam akan dikaji secara mendalam terhadap ayat Al-Quran yang dapat dipandang sebagai teknik evaluasi Allah terhadap perilaku manusia di dunia. Kemudian, dibuat semacam logical framework yang dapat dijadikan landasan pemikiran pentingnya pengembangan teknik evaluasi pendidikan Islam yang berbasis pada ajaran-ajaran Islam secara tekstual maupun kontekstual.
            Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13.
يايهاالناس اناخلقنكم من ذكروانثى وجعلنكم شعوباوقباءل لتعارفوا, ان اكرمكم عندالله اتقكم, انالله عليم خبير.
Artinya:
 “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-seku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.”
(Q.S Al-Hujuraat:13)
            Ayat 13 surat AL-Hujurat dapat dipandang sebagai ayat yang lengkap tentang teknik evaluasi. Pemahaman terhadap ayat tersebut adalah.
1.      Seluruh manusia diciptakan oleh Allah dengan perbedaan suku bangsa, baik etnis maupun rasnya;
2.      Perbedaan tersebut sepantasnya harus dijadikan alat pendukung terjadinya interaksi di antara manusia;
3.      Kecerdasan interaksi di antara manusia sepantasnya menciptakan ketakwaan kepada Allah;
4.      Ketakwaan merupakan akumulasi dari sifat manusia yang senantiasa berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia;
5.      Ketakwaan akan dievaluasi oleh Allah;
6.      Sebagai evaluator, Allah mengetahui dan mengenal semua perilaku manusia secara lahiriah maupun batinah.
            Berkaitan dengan pengembangan teknik evaluasi, ayat tersebut memberikan pelajaran bahwa kebudayaan manusia tidak ada yang tunggal, tetapi penuh dengan kemajemukan manusia tidak ada yang sepantasnya digali dan dijadikan sumber inspirasi pembelajaran, baik dalam pengembangan kurikulum maupun pelaksanaan pembelajaran yang diterapkan kepada anak didik yang memiliki perbedaan biologis, psikologis, fisik, mental, agama, dan status sosial ekonominya. Semua perbedaan dipelajari dan dijadikan rumusan dalam strategi pembelajaran sehingga kurikulum dan pelaksanaan pembelajaran berpedoman pada prinsip fleksibilitas dan kompetitif.
            Hasil pembelajaran merupakan wujud dari penerapan nilai-nilai interaksional serta perbedaan-perbedaan yang ada dalam diri manusia dan lingkungannya. Adapun evaluasi pendidikan pada peningkatan ketakwaan manusia, sebagaimana evaluasi pendidikan diarahkan kepada peningkatan kecerdasan intelektual sekolah maupun eksternal dalam pergaulan di masyarakat.
            Para pendidik yang berkewajiban mengevaluasi anak didiknya adalah yang mengajar dan mendidik siswa secara langsung, serta mengetahui karakter siswa dan keadaannya selama di kelas dan selama berlangsungnya proses pembelajaran. Sebagaimana Allah Yang Maha Mengenal dan Maha Mengetahui perilaku manusia maka Allah yang akan mengevaluasi manusia.[6]
F. Permasalahan Pendidikan Agama dalam Ujian Nasional
            Kebijakan mengujikan mata pelajaran PAI dalam UN dengan dibuat standar secara nasional selayaknya perlu ditinjau ulang. Tidaklah tepat alasan yang mengatakan mata pelajaran PAI menjadi materi UN agar juga diperhatikan sebagaimana mata pelajaran dalam UN lainnya. Jika diperhatikan, maka penghargaan terhadap mata pelajaran PAI hanyalah semu atau tidak nyata. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI sekadar berebut kelulusan. Tentu saja esensi mata pelajaran PAI akan menghilang dan tereduksi pada angka-angka kuantitatif semata. Siapa pun akan sulit membayangkan jika mata pelajaran PAI justru terjebak pada target perolehan angka. Mata pelajaran PAI dipelajari sekadar fokus pada target lulus UN. Dengan tujuan sukses UN, program pendalaman dan pengayaan materi dilakukan, bahkan digelar tryout untuk menguji kemampuan peserta didik. Akhirnya yang terjadi adalah perburuan nilai kuantitatif.[7]        
            Ada beberapa alasan kenapa sebaiknya mata pelajaran PAI tidak diikut sertakan kedalan Ujian Nasional diantaranya adalah, pertama, pada pasal 25 (4) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjelaskan bahwa kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ini berarti bahwa pembelajaran dan penilaian harus mengembangkan kompetensi peserta didik yang berhubungan dengan ranah afektif (sikap), kognitif (pengetahuan), dan psikomotor (keterampilan). Namun pada kenyataannya untuk menguasai ketiga ranah tersebut bukanlah perkara yang sepele bagi seorang pendidik.
            Sebagaimana pengertian evaluasi pembelajaran di atas, pelajaran PAI juga tidak hanya mempunyai satu sisi pengetahuan (kognitif) saja dalam tujuan pembelajarannya, akan tetapi juga masuk pada ranah afektif (sikap) dan psikomotorik (praktik). Bahkan justru kedua hal itulah yang menjadi inti dari pembelajaran PAI. Artinya bahwa PAI itu harus sampai pada ranah aplikatif atau praktek, tidak boleh hanya teoritik saja. Lantas bagaimana pelajaran PAI yang orientasinya berada pada kawasan aplikatif dipaksa untuk berhenti hanya pada orientasi nilai yang berupa ujian nasional. Tidak bisa tidak, pasti pemaknaan masyarakat terhadap agama lambat laun akan pincang.
            Kalau kita merujuk pada mata kuliah Psikologi Agama di sana akan ditemukan bahwa seseorang bisa dikatakan berhasil dalam belajar agama manakala dia dapat mencapai prestasi yang namanya rasa agama. Rasa agama adalah kristal-kristal nilai agama dalam diri manusia sebagai produk yang diperoleh dari prores internalisasi nilai-nilai agama yang kemudian diwujudkan secara aplikatif dalam bentuk perilaku. Artinya bahwa penilaian keberhasilan seseorang dalam belajar agama tidak mungkin dapat diukur melalui tes tertulis semacam ujian nasional sebagaimana yang mulai diuji cobakan pemerintah pada tahun ini, akan tetapi keberhasilan dalam belajar agama dapat dilihat melalui apakah terseorang tersebut sudah mendasarkan segala perilakunya pada norma dan ajaran agamanya atau belum.
            Kedua, Indonesia adalah bangsa yang multikultural, multidimensi dan beraneka ragam karakter penduduknya. Dalam hal beragama (Islam) pun banyak sekali macam-macam aliran yang dianut bangsa Indonesia. Kalau pelajaran matematika yang namanya 4+4 pasti sama dengan 8, sementara jumlah rakaat solat tarawih tidak harus sama dengan 8. Artinya perbedaan-perbedaan furu’ dalam aplikasi agama tidak dapat dihindaari. Contoh sederhana, ada sebagian masyarakat yang menganggap bawa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan adalah membatalkan wudhu (Syafi’iyyah), sementara sebagian yang lain menganggapnya tidak membatalkan (Malikiyyah). Dari segi fikih dasar saja sudah banyak perbedaan, bagaimana mungkin perbedaan-perbedaan dalam pemahaman agama seperti ini dipaksa untuk disatukan dalam bentuk ujian nasional. Misalnya ajaran dan praktek sehari-hari menggunakan pendapat bahwa tarawih+witir itu sebelas rakaat, sementara dalam ujian dituntut untuk menjawab bahwa tarawih+witir itu 23 rakaat karena memang kisi-kisi soalnya seperti itu.
            Ketiga, bergesernya cara pandang masyarakat terhadap agama. Dengan adanya ujian nasioanal pendidikan agama Islam lambat laun agenda tahunan ini akan menjadi kiblat untuk mengukur seberapa kualitas keberagamaan seseorang.  Ketika seorang siswa mendapatkan nilai bagus dalam ujian PAI maka itu akan menjadi seacam kesimpulan bahwa agama anak tersebut bagus. Pelajaran agama yang di ajarkan berbeda dengan matematika, geografi dan pelajaran umum lainnya, ada sisi lain yang harus dituju yaitu penanaman rasa agama kepada anak didik. Dengan PAI diseret untuk diujikan nasional dalam arti PAI akan digeser orientasinya dari orientasi penanaman rasa agama menjadi orientasi nilai berupa angka 6, 7, 7.5, 8 dan seterusnya.[8]
G. Kesimpulan
            Jika direnungkan, mata pelajaran PAI sebenarnya tak sekadar bertujuan agar peserta didik bisa bersyahadat, melaksanakan salat, berzakat, dan berpuasa. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI tidak sekadar bertujuan menghafal materi-materi yang diajarkan. Mungkin bisa saja peserta didik menghafal doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi mata pelajaran PAI memiliki tujuan lebih dari itu. Mata pelajaran PAI seharusnya menjadi energi menumbuhkan akhlak mulia dan menjadikan peserta didik mampu berkontribusi bagi kehidupan berdasarkan landasan agama. Memang bisa saja materi akhlak dijadikan soal-soal ujian dan peserta didik menjawabnya dengan tepat, tetapi itu tidak akan bermakna jika akhlak tidak terinternalisasi dalam kepribadian. Tantangan sebenarnya bukanlah pada apakah mata pelajaran PAI diperhatikan atau tidak, tetapi mampukah mata pelajaran PAI menjadi inspirasi membangun mentalitas peserta didik.
            Entah disadari atau tidak, dimasukkannya mata pelajaran PAI dalam UN akan cenderung menjadikan agama sekadar angka-angka. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI sekadar agar bisa lulus tanpa mampu menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Salah satu faktor terjadinya fenomena kemerosotan moral dan meredupnya nurani dalam masyarakat akibat belum terinternalisasikannya ajaran agama secara mendalam.[9]
            Sistem Evaluasi memang seharusnya digunakan dalam mata pelajaran PAI sebagai acuan penilaian terhadap mata pelajaran ini, hanya saja penggunaan evaluasi lebih cenderung ke masalah psikologi (perilaku) dan penerapan dari peserta didik dan evaluasi dalam bentuk angka hanya digunakan dalam semesteran atau ujian praktek yang merupakan kebijakan pemerintah dan sekolah sejak dulu.
            Sekarang, kalangan generasi muda semakin hari semakin tidak terkontrol perilakunya. Sikap mental pragmatis yang menyukai perilaku instan dijumpai di kalangan generasi muda. Adanya kondisi itu seharusnya menantang para pelaku pendidikan untuk merevitalisasi mata pelajaran PAI agar memiliki jiwa memperbaiki akhlak generasi muda.[10] Harus senantiasa melakukan pengamatan dan kritik atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dan juga lebih memahami konsep evaluasi dalam pendidikan Islam.






[2] Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2010, hlm 307
[3] Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam jilid II, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm 203
[4] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), cetakan kedua, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm 136
[5]Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), cetakan kedua, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm 144
[6] Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam jilid II, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm 215