Kamis, 05 September 2013

MAAFKAN AKU IBU



Aku terbangun dari tidurku dengan perasaan kalut, lemah tidak bertenaga. Kemarin, aku baru saja berdebat dengan ibuku. Sebenarnya ini hanya hal kecil, tapi karena keegoisanku hal itu membuat aku dan ibuku menangis hingga terjadi perang dingin atau dapat dikatakan saling diam.
Aku banyak menghabiskan waktuku di dalam kamar. Jika tidak ada keperluan penting, aku tidak akan keluar dari kamar dan memilih diam.
Semenjak kejadian itu, dengan kasi diamku, aku bahkan tidak makan dan minum. Ya aku tahu ini memeng sedikit kekanak-kanakan seperti orang-orang yang melakukan demo dan mogok kerja atau mogok bicara. Tapi aku sudah terlalu sibuk dengan keeoisanku sendiri, sibuk dengan pikiran ku sendiri.
“Syifa, ayo makan!” suara ayah membuatku berhenti menangis.
“Iya” aku menjawab dengan suara yang aku coba untuk seceria mungkin tidak terlihat seperti orang yang menangis.
Aku tidak beranjak dari tempat tidurku untuk mengindahkan perintah ayah. Sampai perutku benar-benar kelaparan dan mulai berontak terhadap perilakuku. Akhirnya aku keluar dari kamar sederhanaku, mencoba mencari makanan. Aku makan beberapa suap nasi untuk membuat perutku sedikit bersahabat denganku. Setelah itu, aku kembali ke kamar dengan segala pikiranku lagi.
***
Hal itu terjadi hampir dua hari. Aku dan ibuku sama-sama lebih memilih diam. Berbagai macam pikiran-pikiran muncul dalam benakku. Seharusnya aku memang meminta maaf pada ibuku dan mengakui bahwa aku salah karena memang sesungguhnya akulah yang salah dalam hal ini. Tapi mungkin keegoisanku jauh lebih besar dan mengalahkan akal sehatku. Aku merasa bahwa aku memang salah, tapi apa ibuku harus semarah itu. Pikiran-pikiran itu berdesak-desakan di kepalaku berebut untuk menang dan itu membuatku sangat pusing hingga nafsu makanku pun hilang.
Sebenarnya kemarin aku hanya ingin membantu. Aku mengangkat gelas-gelas yang akan disimpan oleh ibu ke dalam lemari. Dan ibuku sudah menyuruhku untuk hati-hati bahkan menyuruhku untuk tidak melakukannya, tapi lagi-lagi aku memang anak yang keras kepala yang jarang sekali mengindahkan kata-kata orang lain.
“Hati-hati Syifa, nanti jatuh.”
“Tenang saja Bu”
“Sudahlah Syifa, biar Ibu saja nanti yang memindahkan dan menyimpannya. Kamu belajar atau bermain saja sana”
“ Syifa bisa kok Bu, tenang saja”
Sifat keras kepalaku berbuah sesuatu yang membuat ibu marah. Akhirnya gelas-gelas itu jatuh dan pecah tidak bersisa. Aku sangat terkejut, aku benar-benar tidak menyangka hal itu akan terjadi, aku benar-benar tidak sengaja. Aku mulai menangis ketika ibu mulai memarahiku, aku mengerti mungkin dia kesal karena aku tidak mengindahkan kata-katanya dan akhirnya apa yang dia khawatirkan benar-benar terjadi.
“Syifa!” Ibu setengah berteriak
“Ibu bilang apa tadi, jangan! Kamu terlalu keras kepala untuk mendengarkan Ibu. Sekarang jadi beginikan, semua gelas pecah tidak ada yang tersisa. Kalau sudah begini, kamu mau apa?”
Aku hanya menangis, tidak berani menjawab bahkan untuk minta maaf pun aku tidak berani.
“Kamu kapan mau mendengarkan kata-kata Ibu, kamu selalu saja tidak pernah mendengarkan orang lain. Kamu lebih mementingkan keinginanmu sendiri, tidak pernah mau tau apa resikonya.” Ibu benar-benar marah, dia berbicara setengah berteriak.
Aku mulai kesal dengan semua omelan Ibu, akhirnya aku membuka mulutku untuk berbicara. Bukan untuk meminta maaf atau mengaku salah tapi untuk memenangkan keegoisanku.
“Syifakan hanya ingin membantu, apa itu salah?! Kenapa Ibu harus semarah itu, itu hanya gelas, bahkan Ibupun bisa membelinya lagi. Apa gelas itu jauh lebih penting dari Syifa, sehingga Ibu harus semarah itu kepada Syifa?”
Aku benar-benar kesal, setelah cukup puas berbicara aku pergi meninggalkan Ibu yang mulai menetaskan air mata karena kata-kataku. Melihat air bening yang menetes dari mata Ibu, sebenarnya aku sedikit menyesal karena telah mengatakan itu, tapi kekesalanku pun benar-benar tidak mau kalah. Aku masuk ke kamar dengan membanting pintu.
Aku menangsi sejadi-jadinya di dalam kamar. Samar-samar aku mendengar suara Ibu membersihkan pecahan-pecahan kaca. Aku tahu sebenarnya yang Ibu katakan hanyalah karena dia marah, itupu  karena kesalahanku, semua yang dia katakan itu sama sekali tidak berasal dari hatinya. Fikiranku benar-benar tidak tentu, aku bingung, marah, dan juga menyesal tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku terlalu gengsi untuk meminta maaf dan menyesali perkataan dan perbuatanku. Hingga akhirnya menjadi seperti sekarang, aku dan Ibuku sama-sama bungkam, diam, tidak ada yang ingin memulai pembicaraan.
***
Tiga Hari berlalu dan aku mulai lelah dengan kejadian ini. Aku mulai keluar dari kamar, duduk di kursi memperhatikan hal yang dilakukan Ibuku tanpa berani berkata apa-apa. Tiga puluh menit berlalu, sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk menegur Ibuku.
“Bu?”
“Iya”
“Syifa........ Syifa minta maaf Bu” aku berkata dengan wajah tertunduk, aku menyadari Ibu menoleh ke arahku setelah aku mengatakan hal itu.
“Kamu tidak perlu meminta maaf Syifa, Ibu sudah memaafkanmu”
Aku mulai menetaskan air mata dan Ibu memelukku. Pelukan sayang seorang Ibu, pelukan yang hangat.
“Ibu tahu kamu kemarin hanya ingin membantu Ibu, ingin meringankan beban Ibu. Terimakasih sayang.”
“Ibu juga minta maaf karena Ibu memarahimu, tapi itu semua hanya karena Ibu seorang manusia yang pastinya bisa marah. Tapi kamu tahu sayang, semua yang ibu katakan hanyalah kata-kata yang keluar dari mulut Ibu karena Ibu marah, bukan karena Ibu membencimu, semua kata-kata itu tidak berasal dari hati. Ibu sangat menyayangimu dan kamu sangat penting buat Ibu.”
Ibu membelai rambutku dengan lembut. Aku semakin kuat memeluk Ibu dan masih menangis, aku hanya menjawab kata-kata Ibu dengan anggukan. Tapi dalam hatiku, aku benar-benar minta maaf pada Ibu dan menyesali yang sudah aku lakukan dan aku berterimakasih kepada Ibu karena sudah memaafkanku dan menyayangiku. Dalam tangisku, aku berkata di dalam hati “ Tuhan, terimakasih karena Engkau sudah memberikan aku seorang Ibu seperti Ibuku yang sangat menyayangiku. Apapun yang terjadi, aku sangat menyayangi Ibuku. Sayangi juga Ibuku Tuhan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar