Aku
terbangun dari tidurku dengan perasaan kalut, lemah tidak bertenaga. Kemarin,
aku baru saja berdebat dengan ibuku. Sebenarnya ini hanya hal kecil, tapi
karena keegoisanku hal itu membuat aku dan ibuku menangis hingga terjadi perang
dingin atau dapat dikatakan saling diam.
Aku
banyak menghabiskan waktuku di dalam kamar. Jika tidak ada keperluan penting,
aku tidak akan keluar dari kamar dan memilih diam.
Semenjak
kejadian itu, dengan kasi diamku, aku bahkan tidak makan dan minum. Ya aku tahu
ini memeng sedikit kekanak-kanakan seperti orang-orang yang melakukan demo dan
mogok kerja atau mogok bicara. Tapi aku sudah terlalu sibuk dengan keeoisanku
sendiri, sibuk dengan pikiran ku sendiri.
“Syifa,
ayo makan!” suara ayah membuatku berhenti menangis.
“Iya”
aku menjawab dengan suara yang aku coba untuk seceria mungkin tidak terlihat
seperti orang yang menangis.
Aku
tidak beranjak dari tempat tidurku untuk mengindahkan perintah ayah. Sampai
perutku benar-benar kelaparan dan mulai berontak terhadap perilakuku. Akhirnya
aku keluar dari kamar sederhanaku, mencoba mencari makanan. Aku makan beberapa
suap nasi untuk membuat perutku sedikit bersahabat denganku. Setelah itu, aku
kembali ke kamar dengan segala pikiranku lagi.
***
Hal
itu terjadi hampir dua hari. Aku dan ibuku sama-sama lebih memilih diam.
Berbagai macam pikiran-pikiran muncul dalam benakku. Seharusnya aku memang
meminta maaf pada ibuku dan mengakui bahwa aku salah karena memang sesungguhnya
akulah yang salah dalam hal ini. Tapi mungkin keegoisanku jauh lebih besar dan
mengalahkan akal sehatku. Aku merasa bahwa aku memang salah, tapi apa ibuku
harus semarah itu. Pikiran-pikiran itu berdesak-desakan di kepalaku berebut
untuk menang dan itu membuatku sangat pusing hingga nafsu makanku pun hilang.
Sebenarnya
kemarin aku hanya ingin membantu. Aku mengangkat gelas-gelas yang akan disimpan
oleh ibu ke dalam lemari. Dan ibuku sudah menyuruhku untuk hati-hati bahkan
menyuruhku untuk tidak melakukannya, tapi lagi-lagi aku memang anak yang keras
kepala yang jarang sekali mengindahkan kata-kata orang lain.
“Hati-hati
Syifa, nanti jatuh.”
“Tenang
saja Bu”
“Sudahlah
Syifa, biar Ibu saja nanti yang memindahkan dan menyimpannya. Kamu belajar atau
bermain saja sana”
“
Syifa bisa kok Bu, tenang saja”
Sifat
keras kepalaku berbuah sesuatu yang membuat ibu marah. Akhirnya gelas-gelas itu
jatuh dan pecah tidak bersisa. Aku sangat terkejut, aku benar-benar tidak
menyangka hal itu akan terjadi, aku benar-benar tidak sengaja. Aku mulai
menangis ketika ibu mulai memarahiku, aku mengerti mungkin dia kesal karena aku
tidak mengindahkan kata-katanya dan akhirnya apa yang dia khawatirkan
benar-benar terjadi.
“Syifa!”
Ibu setengah berteriak
“Ibu
bilang apa tadi, jangan! Kamu terlalu keras kepala untuk mendengarkan Ibu. Sekarang
jadi beginikan, semua gelas pecah tidak ada yang tersisa. Kalau sudah begini,
kamu mau apa?”
Aku
hanya menangis, tidak berani menjawab bahkan untuk minta maaf pun aku tidak
berani.
“Kamu
kapan mau mendengarkan kata-kata Ibu, kamu selalu saja tidak pernah
mendengarkan orang lain. Kamu lebih mementingkan keinginanmu sendiri, tidak
pernah mau tau apa resikonya.” Ibu benar-benar marah, dia berbicara setengah
berteriak.
Aku
mulai kesal dengan semua omelan Ibu, akhirnya aku membuka mulutku untuk
berbicara. Bukan untuk meminta maaf atau mengaku salah tapi untuk memenangkan
keegoisanku.
“Syifakan
hanya ingin membantu, apa itu salah?! Kenapa Ibu harus semarah itu, itu hanya
gelas, bahkan Ibupun bisa membelinya lagi. Apa gelas itu jauh lebih penting
dari Syifa, sehingga Ibu harus semarah itu kepada Syifa?”
Aku
benar-benar kesal, setelah cukup puas berbicara aku pergi meninggalkan Ibu yang
mulai menetaskan air mata karena kata-kataku. Melihat air bening yang menetes
dari mata Ibu, sebenarnya aku sedikit menyesal karena telah mengatakan itu,
tapi kekesalanku pun benar-benar tidak mau kalah. Aku masuk ke kamar dengan
membanting pintu.
Aku
menangsi sejadi-jadinya di dalam kamar. Samar-samar aku mendengar suara Ibu
membersihkan pecahan-pecahan kaca. Aku tahu sebenarnya yang Ibu katakan
hanyalah karena dia marah, itupu karena
kesalahanku, semua yang dia katakan itu sama sekali tidak berasal dari hatinya.
Fikiranku benar-benar tidak tentu, aku bingung, marah, dan juga menyesal tapi
aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku terlalu gengsi untuk meminta
maaf dan menyesali perkataan dan perbuatanku. Hingga akhirnya menjadi seperti
sekarang, aku dan Ibuku sama-sama bungkam, diam, tidak ada yang ingin memulai
pembicaraan.
***
Tiga
Hari berlalu dan aku mulai lelah dengan kejadian ini. Aku mulai keluar dari
kamar, duduk di kursi memperhatikan hal yang dilakukan Ibuku tanpa berani
berkata apa-apa. Tiga puluh menit berlalu, sampai akhirnya aku memberanikan
diri untuk menegur Ibuku.
“Bu?”
“Iya”
“Syifa........
Syifa minta maaf Bu” aku berkata dengan wajah tertunduk, aku menyadari Ibu
menoleh ke arahku setelah aku mengatakan hal itu.
“Kamu
tidak perlu meminta maaf Syifa, Ibu sudah memaafkanmu”
Aku
mulai menetaskan air mata dan Ibu memelukku. Pelukan sayang seorang Ibu, pelukan
yang hangat.
“Ibu
tahu kamu kemarin hanya ingin membantu Ibu, ingin meringankan beban Ibu.
Terimakasih sayang.”
“Ibu
juga minta maaf karena Ibu memarahimu, tapi itu semua hanya karena Ibu seorang
manusia yang pastinya bisa marah. Tapi kamu tahu sayang, semua yang ibu katakan
hanyalah kata-kata yang keluar dari mulut Ibu karena Ibu marah, bukan karena
Ibu membencimu, semua kata-kata itu tidak berasal dari hati. Ibu sangat
menyayangimu dan kamu sangat penting buat Ibu.”
Ibu
membelai rambutku dengan lembut. Aku semakin kuat memeluk Ibu dan masih
menangis, aku hanya menjawab kata-kata Ibu dengan anggukan. Tapi dalam hatiku,
aku benar-benar minta maaf pada Ibu dan menyesali yang sudah aku lakukan dan
aku berterimakasih kepada Ibu karena sudah memaafkanku dan menyayangiku. Dalam
tangisku, aku berkata di dalam hati “ Tuhan, terimakasih karena Engkau sudah
memberikan aku seorang Ibu seperti Ibuku yang sangat menyayangiku. Apapun yang
terjadi, aku sangat menyayangi Ibuku. Sayangi juga Ibuku Tuhan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar