HAKIKAT EVALUASI
PENDIDIKAN ISLAM
(Mengurai
Permasalahan PAI dalam Ujian Nasional)
Oleh Ilmi Islamia Nur
A. Pendahuluan
Ujian Nasional (UN) memang merupakan
salah satu bagian dari fenomena-fenomena unik yang ada di negaranya ini. Ujian
Nasional (UN) merupakan agenda tahunan yang bisa memunculkan beragam cara
pandang. Bagi seorang siswa Ujian Nasional (UN) bisa jadi merupakan momok yang
senantiasa menghantui mereka, bagi seorang tukang becak UN adalah ritual
pemerasan yang menyesakkan dada karena mereka harus melunasi semua tunggakan
SPP jika anak mereka ingin bisa ikut ujian. Bagi seorang bisnisman dan lembaga
bimbingan belajar, agenda ini merupakan lahan subur untuk meraup keuntungan
sebesar-besarnya. Bahkan tidak hanya bisnisman, para aktor pendidikanpun
ikut-ikutan berbisnis dan panen uang saat Ujian Nasional (UN) menjelang.
Contohnya seperti penjualan soal bocoran, penambahan anggaran tetek bengek
dengan alasan demi suksesnya UN dan berbagai macam bisnis kamuflase lainnya.[1]
Berbagai media cetak dan media
sosial mencoba membahas masalah ini dengan sangat serius. Masalah ini lebih
berkembang ketika dilakukan uji coba terhadap mata pelajaran agama Islam
kedalam UN, banyak sekali masyarakat yang menanggapi masalah ini, mulai dari
penulis, jurnalistik, rakyat biasa, sampai para tokoh pendidikan dan pejabat.
Ada berbagai macam tanggapan dalam hal ini, mulai dari positif sampai negatif.
Masalah utama yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah mengenai haruskah mata pelajaran PAI diikutsertakan
dalam Ujian Nasional (UN)?
Selain mengenai masalah itu makalah
ini juga akan menyertakan beberapa hal mengenai evaluasi yang berhubungan
dengan masalah di atas.
Tujuan penyusunan serta pembahasan
makalah ini adalah agar mata pelajaran PAI lebih diperhatikan lagi, mulai dari
makna pelajaran tersebut serta penerapannya dalam pendidikan dan cara evaluasi
mata pelajaran ini.
B. Pengertian
Evaluasi
Secara etimologi evaluasi berasal
dari bahasa Inggris, evaluation yang berarti penilaian dan penaksiran.
Dalam bahasa Arab, dijumpai istilah imtihan yang bearti ujian, dan khataman
yang bearti cara menilai hasil akhir dari proses kegiatan.[2]
Benjamin Bloom mengartikan evaluasi
sebagai kumpulan realitas yang disusun secara sitematis guna memperoleh
pengetahuan mengenai terjadi tidaknya perubahan anak didik. Evaluasi merupakan
proses pendeskripsian dan informasi tentang hasil tindakan yang telah dinilai
yang akan dijadikan bahan pertimbangan pengambilan keputusan.[3]
C. Manfaat Evaluasi
Evaluasi mempunyai manfaat bagi
berbagai pihak. Evaluasi hasil belajar siswa bermakna bagi semua komponen dalam
proses pengajaran, terutama siswa, guru, pembimbing/penyuluh, sekolah, dan
orang tua siswa.
1. Manfaat
bagi Siswa
Hasil
evaluasi memberikan informasi tentang sejauh mana ia telah menguasai bahan
pelajaran yang disajikan guru. Dengan informasi ini siswa dapat mengambil
langkah-langkah yang sesuai.
2. Manfaat
bagi Guru
Hasil
evaluasi memberikan petunjuk bagi guru mengenai keadaan siswa, materi
pengajaran, dan metode mengajarnya.
a) Keadaan
Siswa
Karena hasil yang diperoleh dari
evaluasi itu adalah hasil yang dicapai oleh tiap siswa, hasil evaluasi tersebut
memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan belajar tiap siswa serta
letak kesulitan belajar yang dialami oleh mereka.
b) Keadaan
materi pengajaran
Hasil evaluai pun dapat memberikan
gambaran bagi guru tentang daya serap siswa atas materi pengajaran yang
disajikan.
c) Keadaan
metode pengajaran
Hasil evaluasi dapat menunjukkan
tepat tidaknya metode mengajar yang dipergunakan oleh guru dalam menyajikan
suatu materi tertentu.
3. Manfaat
bagi Pembimbing/Penyuluh
Bimbingan
dan penyuluhan umumnya diarahkan kepada usaha peningkatan daya serap siswa
serta penyesuaian siswa dengan lingkungannya. Upaya bimbingan dan penyuluhan
akan lebih terarah kepada tujuannya apabila ditunjang oleh informasi yang
akurat tentang keadaan siswa, baik dari segi intelektualnya maupun dari segi
emosionalnya. Untuk memperoleh informasi akurat yang diinginkan itu, evaluasi
memegang peranan penting.
4. Manfaat
bagi Sekolah
Keberhasilan
kegiatan belajar-mengajar ditentukan pula oleh kondisi belajar yang diciptakan
sekolah. Efektivitas kegiatan belajar-mengajar yang dipersyaratkan antara lain
oleh kondisi belajar yang diciptakan sekolah itu informasinya melalui evaluasi.
Hasil evaluasi yang diperoleh itu dapat dipakai sekolah untuk mengintropeksi
diri untuk melihat sejauh mana kondisi belajar yang diciptakannya membantu
terselenggaranya pengajaran dengan baik.
5. Manfaat
bagi Orang Tua Siswa
Semua
orang tua ingin melihat sejauh mana tingkat kemajuan yang dicapai anaknya di
sekolah, meskipun pengetahuan itu tidak menjamin adanya upaya dari mereka untuk
peningkatan kemajuan anaknya. Oleh karena itu setiap caturwulan atau semester,
sekolah memberikan laporan kemajuan siswa kepada orang tuanya dalam bentuk buku
rapor. Yang ada dalam buku rapor itu tidak lain dari hasil evaluasi yang dibuat
oleh guru dan semua petugas sekolah terhadap siswa.[4]
D. Evaluasi dalam
Pendidikan Islam
Evaluasi dalam pendidikan Islam
merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku manusia didik
berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh
aspek-aspek kehidupan mental psikologi dan spiritual-religius, karena manusia
hasil pendidikan Islam adalah sosok pribadi yang tidak hanya bersikap religius,
melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup dan berbakti kepada
Tuhan dan masyarakatnya.
Sasaran-sasaran dari evaluasi
pendidikan Islam secara garis besarnya meliputi empat kemampuan dasar manusia
didik yaitu.
1. Sikap
dan pengalaman terhadap arti hubungan pribadi dengan Tuhannya.
2. Sikap
dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
3. Sikap
dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupan dengan alam sekitarnya.
4. Sikap
dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota
masyarakat serta selaku khalifah di muka bumi (sebagai pemukiman di lingkungan
hidup).
Sasaran-sasaran evaluasi tersebut
dirumuskan ke dalam item-item pertanyaan atau statement-statement yang
disajikan kepada manusia didik untuk ditanggapi. Hasil dari tanggapan mereka
kemudian dianalisis secara psikologis, karena yang menjadi pokok persoalan
evaluasi adalah sikap mental dan pandangan dasar dari mereka sebagai
manifestasi dari keimanan dan ke Islaman serta ilmu pengetahuan.[5]
E. Pengembangan
Teknik Evaluasi Pendidikan Islam
Uraian tentang pengembangan teknik
evaluasi pendidikan Islam akan dikaji secara mendalam terhadap ayat Al-Quran
yang dapat dipandang sebagai teknik evaluasi Allah terhadap perilaku manusia di
dunia. Kemudian, dibuat semacam logical framework yang dapat dijadikan
landasan pemikiran pentingnya pengembangan teknik evaluasi pendidikan Islam
yang berbasis pada ajaran-ajaran Islam secara tekstual maupun kontekstual.
Allah SWT berfirman dalam surat
Al-Hujurat ayat 13.
يايهاالناس اناخلقنكم من ذكروانثى وجعلنكم
شعوباوقباءل لتعارفوا, ان اكرمكم عندالله اتقكم, انالله عليم خبير.
Artinya:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-seku agar kamu saling mengenal.
Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.”
(Q.S
Al-Hujuraat:13)
Ayat 13 surat AL-Hujurat dapat
dipandang sebagai ayat yang lengkap tentang teknik evaluasi. Pemahaman terhadap
ayat tersebut adalah.
1. Seluruh
manusia diciptakan oleh Allah dengan perbedaan suku bangsa, baik etnis maupun rasnya;
2. Perbedaan
tersebut sepantasnya harus dijadikan alat pendukung terjadinya interaksi di
antara manusia;
3. Kecerdasan
interaksi di antara manusia sepantasnya menciptakan ketakwaan kepada Allah;
4. Ketakwaan
merupakan akumulasi dari sifat manusia yang senantiasa berinteraksi dengan
Allah dan dengan sesama manusia;
5. Ketakwaan
akan dievaluasi oleh Allah;
6. Sebagai
evaluator, Allah mengetahui dan mengenal semua perilaku manusia secara lahiriah
maupun batinah.
Berkaitan dengan pengembangan teknik
evaluasi, ayat tersebut memberikan pelajaran bahwa kebudayaan manusia tidak ada
yang tunggal, tetapi penuh dengan kemajemukan manusia tidak ada yang
sepantasnya digali dan dijadikan sumber inspirasi pembelajaran, baik dalam
pengembangan kurikulum maupun pelaksanaan pembelajaran yang diterapkan kepada
anak didik yang memiliki perbedaan biologis, psikologis, fisik, mental, agama,
dan status sosial ekonominya. Semua perbedaan dipelajari dan dijadikan rumusan
dalam strategi pembelajaran sehingga kurikulum dan pelaksanaan pembelajaran
berpedoman pada prinsip fleksibilitas dan kompetitif.
Hasil pembelajaran merupakan wujud
dari penerapan nilai-nilai interaksional serta perbedaan-perbedaan yang ada
dalam diri manusia dan lingkungannya. Adapun evaluasi pendidikan pada
peningkatan ketakwaan manusia, sebagaimana evaluasi pendidikan diarahkan kepada
peningkatan kecerdasan intelektual sekolah maupun eksternal dalam pergaulan di
masyarakat.
Para pendidik yang berkewajiban
mengevaluasi anak didiknya adalah yang mengajar dan mendidik siswa secara
langsung, serta mengetahui karakter siswa dan keadaannya selama di kelas dan
selama berlangsungnya proses pembelajaran. Sebagaimana Allah Yang Maha Mengenal
dan Maha Mengetahui perilaku manusia maka Allah yang akan mengevaluasi manusia.[6]
F. Permasalahan Pendidikan Agama dalam Ujian Nasional
Kebijakan mengujikan mata pelajaran
PAI dalam UN dengan dibuat standar secara nasional selayaknya perlu ditinjau
ulang. Tidaklah tepat alasan yang mengatakan mata pelajaran PAI menjadi materi
UN agar juga diperhatikan sebagaimana mata pelajaran dalam UN lainnya. Jika
diperhatikan, maka penghargaan terhadap mata pelajaran PAI hanyalah semu atau
tidak nyata. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI sekadar berebut
kelulusan. Tentu saja esensi mata pelajaran PAI akan menghilang dan tereduksi
pada angka-angka kuantitatif semata. Siapa pun akan sulit membayangkan jika
mata pelajaran PAI justru terjebak pada target perolehan angka. Mata pelajaran
PAI dipelajari sekadar fokus pada target lulus UN. Dengan tujuan sukses UN,
program pendalaman dan pengayaan materi dilakukan, bahkan digelar tryout untuk
menguji kemampuan peserta didik. Akhirnya yang terjadi adalah perburuan nilai
kuantitatif.[7]
Ada beberapa alasan kenapa sebaiknya
mata pelajaran PAI tidak diikut sertakan kedalan Ujian Nasional diantaranya
adalah, pertama, pada pasal 25 (4) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan menjelaskan bahwa kompetensi lulusan
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ini berarti bahwa pembelajaran
dan penilaian harus mengembangkan kompetensi peserta didik yang berhubungan
dengan ranah afektif (sikap), kognitif (pengetahuan), dan psikomotor
(keterampilan). Namun pada kenyataannya untuk menguasai ketiga ranah tersebut
bukanlah perkara yang sepele bagi seorang pendidik.
Sebagaimana pengertian evaluasi
pembelajaran di atas, pelajaran PAI juga tidak hanya mempunyai satu sisi pengetahuan
(kognitif) saja dalam tujuan pembelajarannya, akan tetapi juga masuk pada ranah
afektif (sikap) dan psikomotorik (praktik). Bahkan justru kedua hal itulah yang
menjadi inti dari pembelajaran PAI. Artinya bahwa PAI itu harus sampai pada
ranah aplikatif atau praktek, tidak boleh hanya teoritik saja. Lantas bagaimana
pelajaran PAI yang orientasinya berada pada kawasan aplikatif dipaksa untuk
berhenti hanya pada orientasi nilai yang berupa ujian nasional. Tidak bisa
tidak, pasti pemaknaan masyarakat terhadap agama lambat laun akan pincang.
Kalau kita merujuk pada mata kuliah
Psikologi Agama di sana akan ditemukan bahwa seseorang bisa dikatakan berhasil
dalam belajar agama manakala dia dapat mencapai prestasi yang namanya rasa
agama. Rasa agama adalah kristal-kristal nilai agama dalam diri manusia sebagai
produk yang diperoleh dari prores internalisasi nilai-nilai agama yang kemudian
diwujudkan secara aplikatif dalam bentuk perilaku. Artinya bahwa penilaian
keberhasilan seseorang dalam belajar agama tidak mungkin dapat diukur melalui
tes tertulis semacam ujian nasional sebagaimana yang mulai diuji cobakan
pemerintah pada tahun ini, akan tetapi keberhasilan dalam belajar agama dapat
dilihat melalui apakah terseorang tersebut sudah mendasarkan segala perilakunya
pada norma dan ajaran agamanya atau belum.
Kedua, Indonesia adalah bangsa yang
multikultural, multidimensi dan beraneka ragam karakter penduduknya. Dalam hal
beragama (Islam) pun banyak sekali macam-macam aliran yang dianut bangsa
Indonesia. Kalau pelajaran matematika yang namanya 4+4 pasti sama dengan 8,
sementara jumlah rakaat solat tarawih tidak harus sama dengan 8. Artinya
perbedaan-perbedaan furu’ dalam aplikasi agama tidak dapat dihindaari.
Contoh sederhana, ada sebagian masyarakat yang menganggap bawa bersentuhan
kulit antara laki-laki dan perempuan adalah membatalkan wudhu (Syafi’iyyah),
sementara sebagian yang lain menganggapnya tidak membatalkan (Malikiyyah). Dari
segi fikih dasar saja sudah banyak perbedaan, bagaimana mungkin
perbedaan-perbedaan dalam pemahaman agama seperti ini dipaksa untuk disatukan
dalam bentuk ujian nasional. Misalnya ajaran dan praktek sehari-hari
menggunakan pendapat bahwa tarawih+witir itu sebelas rakaat, sementara dalam
ujian dituntut untuk menjawab bahwa tarawih+witir itu 23 rakaat karena memang
kisi-kisi soalnya seperti itu.
Ketiga, bergesernya cara pandang
masyarakat terhadap agama. Dengan adanya ujian nasioanal pendidikan agama Islam
lambat laun agenda tahunan ini akan menjadi kiblat untuk mengukur seberapa
kualitas keberagamaan seseorang. Ketika
seorang siswa mendapatkan nilai bagus dalam ujian PAI maka itu akan menjadi
seacam kesimpulan bahwa agama anak tersebut bagus. Pelajaran agama yang di
ajarkan berbeda dengan matematika, geografi dan pelajaran umum lainnya, ada
sisi lain yang harus dituju yaitu penanaman rasa agama kepada anak didik. Dengan
PAI diseret untuk diujikan nasional dalam arti PAI akan digeser orientasinya
dari orientasi penanaman rasa agama menjadi orientasi nilai berupa angka 6, 7,
7.5, 8 dan seterusnya.[8]
G. Kesimpulan
Jika direnungkan, mata pelajaran PAI
sebenarnya tak sekadar bertujuan agar peserta didik bisa bersyahadat,
melaksanakan salat, berzakat, dan berpuasa. Peserta didik mempelajari mata
pelajaran PAI tidak sekadar bertujuan menghafal materi-materi yang diajarkan.
Mungkin bisa saja peserta didik menghafal doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur’an,
tetapi mata pelajaran PAI memiliki tujuan lebih dari itu. Mata pelajaran PAI
seharusnya menjadi energi menumbuhkan akhlak mulia dan menjadikan peserta didik
mampu berkontribusi bagi kehidupan berdasarkan landasan agama. Memang bisa saja
materi akhlak dijadikan soal-soal ujian dan peserta didik menjawabnya dengan
tepat, tetapi itu tidak akan bermakna jika akhlak tidak terinternalisasi dalam
kepribadian. Tantangan sebenarnya bukanlah pada apakah mata pelajaran PAI
diperhatikan atau tidak, tetapi mampukah mata pelajaran PAI menjadi inspirasi
membangun mentalitas peserta didik.
Entah disadari atau tidak,
dimasukkannya mata pelajaran PAI dalam UN akan cenderung menjadikan agama
sekadar angka-angka. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI sekadar agar
bisa lulus tanpa mampu menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Salah satu faktor terjadinya fenomena kemerosotan moral dan meredupnya nurani
dalam masyarakat akibat belum terinternalisasikannya ajaran agama secara
mendalam.[9]
Sistem Evaluasi memang seharusnya digunakan
dalam mata pelajaran PAI sebagai acuan penilaian terhadap mata pelajaran ini,
hanya saja penggunaan evaluasi lebih cenderung ke masalah psikologi (perilaku)
dan penerapan dari peserta didik dan evaluasi dalam bentuk angka hanya
digunakan dalam semesteran atau ujian praktek yang merupakan kebijakan
pemerintah dan sekolah sejak dulu.
Sekarang, kalangan generasi muda
semakin hari semakin tidak terkontrol perilakunya. Sikap mental pragmatis yang
menyukai perilaku instan dijumpai di kalangan generasi muda. Adanya kondisi itu
seharusnya menantang para pelaku pendidikan untuk merevitalisasi mata pelajaran
PAI agar memiliki jiwa memperbaiki akhlak generasi muda.[10]
Harus
senantiasa melakukan pengamatan dan kritik atas kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah. Dan juga lebih memahami konsep evaluasi dalam
pendidikan Islam.
[2] Abudin Nata, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2010, hlm 307
[3] Hasan Basri dan Beni Ahmad
Saebani, Ilmu Pendidikan Islam jilid II, Bandung: Pustaka Setia, 2010,
hlm 203
[4] Nur Uhbiyati, Ilmu
Pendidikan Islam (IPI), cetakan kedua, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm
136
[5]Nur Uhbiyati, Ilmu
Pendidikan Islam (IPI), cetakan kedua, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm
144
[6] Hasan Basri dan Beni Ahmad
Saebani, Ilmu Pendidikan Islam jilid II, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm
215
Tidak ada komentar:
Posting Komentar