Minggu, 07 April 2013

HAKIKAT EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM
(Mengurai Permasalahan PAI dalam Ujian Nasional)
Oleh Ilmi Islamia Nur
A. Pendahuluan
            Ujian Nasional (UN) memang merupakan salah satu bagian dari fenomena-fenomena unik yang ada di negaranya ini. Ujian Nasional (UN) merupakan agenda tahunan yang bisa memunculkan beragam cara pandang. Bagi seorang siswa Ujian Nasional (UN) bisa jadi merupakan momok yang senantiasa menghantui mereka, bagi seorang tukang becak UN adalah ritual pemerasan yang menyesakkan dada karena mereka harus melunasi semua tunggakan SPP jika anak mereka ingin bisa ikut ujian. Bagi seorang bisnisman dan lembaga bimbingan belajar, agenda ini merupakan lahan subur untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan tidak hanya bisnisman, para aktor pendidikanpun ikut-ikutan berbisnis dan panen uang saat Ujian Nasional (UN) menjelang. Contohnya seperti penjualan soal bocoran, penambahan anggaran tetek bengek dengan alasan demi suksesnya UN dan berbagai macam bisnis kamuflase lainnya.[1]
            Berbagai media cetak dan media sosial mencoba membahas masalah ini dengan sangat serius. Masalah ini lebih berkembang ketika dilakukan uji coba terhadap mata pelajaran agama Islam kedalam UN, banyak sekali masyarakat yang menanggapi masalah ini, mulai dari penulis, jurnalistik, rakyat biasa, sampai para tokoh pendidikan dan pejabat. Ada berbagai macam tanggapan dalam hal ini, mulai dari positif sampai negatif.
            Masalah utama yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai haruskah mata pelajaran PAI diikutsertakan dalam Ujian Nasional (UN)?
            Selain mengenai masalah itu makalah ini juga akan menyertakan beberapa hal mengenai evaluasi yang berhubungan dengan masalah di atas.
            Tujuan penyusunan serta pembahasan makalah ini adalah agar mata pelajaran PAI lebih diperhatikan lagi, mulai dari makna pelajaran tersebut serta penerapannya dalam pendidikan dan cara evaluasi mata pelajaran ini.
B. Pengertian Evaluasi
            Secara etimologi evaluasi berasal dari bahasa Inggris, evaluation yang berarti penilaian dan penaksiran. Dalam bahasa Arab, dijumpai istilah imtihan yang bearti ujian, dan khataman yang bearti cara menilai hasil akhir dari proses kegiatan.[2]
            Benjamin Bloom mengartikan evaluasi sebagai kumpulan realitas yang disusun secara sitematis guna memperoleh pengetahuan mengenai terjadi tidaknya perubahan anak didik. Evaluasi merupakan proses pendeskripsian dan informasi tentang hasil tindakan yang telah dinilai yang akan dijadikan bahan pertimbangan pengambilan keputusan.[3]
C. Manfaat Evaluasi
            Evaluasi mempunyai manfaat bagi berbagai pihak. Evaluasi hasil belajar siswa bermakna bagi semua komponen dalam proses pengajaran, terutama siswa, guru, pembimbing/penyuluh, sekolah, dan orang tua siswa.
1.      Manfaat bagi Siswa
            Hasil evaluasi memberikan informasi tentang sejauh mana ia telah menguasai bahan pelajaran yang disajikan guru. Dengan informasi ini siswa dapat mengambil langkah-langkah yang sesuai.
2.      Manfaat bagi Guru
            Hasil evaluasi memberikan petunjuk bagi guru mengenai keadaan siswa, materi pengajaran, dan metode mengajarnya.
a)      Keadaan Siswa
Karena hasil yang diperoleh dari evaluasi itu adalah hasil yang dicapai oleh tiap siswa, hasil evaluasi tersebut memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan belajar tiap siswa serta letak kesulitan belajar yang dialami oleh mereka.
b)     Keadaan materi pengajaran
Hasil evaluai pun dapat memberikan gambaran bagi guru tentang daya serap siswa atas materi pengajaran yang disajikan.
c)      Keadaan metode pengajaran
Hasil evaluasi dapat menunjukkan tepat tidaknya metode mengajar yang dipergunakan oleh guru dalam menyajikan suatu materi tertentu.
3.      Manfaat bagi Pembimbing/Penyuluh
            Bimbingan dan penyuluhan umumnya diarahkan kepada usaha peningkatan daya serap siswa serta penyesuaian siswa dengan lingkungannya. Upaya bimbingan dan penyuluhan akan lebih terarah kepada tujuannya apabila ditunjang oleh informasi yang akurat tentang keadaan siswa, baik dari segi intelektualnya maupun dari segi emosionalnya. Untuk memperoleh informasi akurat yang diinginkan itu, evaluasi memegang peranan penting.
4.      Manfaat bagi Sekolah
            Keberhasilan kegiatan belajar-mengajar ditentukan pula oleh kondisi belajar yang diciptakan sekolah. Efektivitas kegiatan belajar-mengajar yang dipersyaratkan antara lain oleh kondisi belajar yang diciptakan sekolah itu informasinya melalui evaluasi. Hasil evaluasi yang diperoleh itu dapat dipakai sekolah untuk mengintropeksi diri untuk melihat sejauh mana kondisi belajar yang diciptakannya membantu terselenggaranya pengajaran dengan baik.
5.      Manfaat bagi Orang Tua Siswa
            Semua orang tua ingin melihat sejauh mana tingkat kemajuan yang dicapai anaknya di sekolah, meskipun pengetahuan itu tidak menjamin adanya upaya dari mereka untuk peningkatan kemajuan anaknya. Oleh karena itu setiap caturwulan atau semester, sekolah memberikan laporan kemajuan siswa kepada orang tuanya dalam bentuk buku rapor. Yang ada dalam buku rapor itu tidak lain dari hasil evaluasi yang dibuat oleh guru dan semua petugas sekolah terhadap siswa.[4]
D. Evaluasi dalam Pendidikan Islam
            Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku manusia didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental psikologi dan spiritual-religius, karena manusia hasil pendidikan Islam adalah sosok pribadi yang tidak hanya bersikap religius, melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya.
            Sasaran-sasaran dari evaluasi pendidikan Islam secara garis besarnya meliputi empat kemampuan dasar manusia didik yaitu.
1.      Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan pribadi dengan Tuhannya.
2.      Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
3.      Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupan dengan alam sekitarnya.
4.      Sikap dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakat serta selaku khalifah di muka bumi (sebagai pemukiman di lingkungan hidup).
            Sasaran-sasaran evaluasi tersebut dirumuskan ke dalam item-item pertanyaan atau statement-statement yang disajikan kepada manusia didik untuk ditanggapi. Hasil dari tanggapan mereka kemudian dianalisis secara psikologis, karena yang menjadi pokok persoalan evaluasi adalah sikap mental dan pandangan dasar dari mereka sebagai manifestasi dari keimanan dan ke Islaman serta ilmu pengetahuan.[5]
E. Pengembangan Teknik Evaluasi Pendidikan Islam
            Uraian tentang pengembangan teknik evaluasi pendidikan Islam akan dikaji secara mendalam terhadap ayat Al-Quran yang dapat dipandang sebagai teknik evaluasi Allah terhadap perilaku manusia di dunia. Kemudian, dibuat semacam logical framework yang dapat dijadikan landasan pemikiran pentingnya pengembangan teknik evaluasi pendidikan Islam yang berbasis pada ajaran-ajaran Islam secara tekstual maupun kontekstual.
            Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13.
يايهاالناس اناخلقنكم من ذكروانثى وجعلنكم شعوباوقباءل لتعارفوا, ان اكرمكم عندالله اتقكم, انالله عليم خبير.
Artinya:
 “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-seku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.”
(Q.S Al-Hujuraat:13)
            Ayat 13 surat AL-Hujurat dapat dipandang sebagai ayat yang lengkap tentang teknik evaluasi. Pemahaman terhadap ayat tersebut adalah.
1.      Seluruh manusia diciptakan oleh Allah dengan perbedaan suku bangsa, baik etnis maupun rasnya;
2.      Perbedaan tersebut sepantasnya harus dijadikan alat pendukung terjadinya interaksi di antara manusia;
3.      Kecerdasan interaksi di antara manusia sepantasnya menciptakan ketakwaan kepada Allah;
4.      Ketakwaan merupakan akumulasi dari sifat manusia yang senantiasa berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia;
5.      Ketakwaan akan dievaluasi oleh Allah;
6.      Sebagai evaluator, Allah mengetahui dan mengenal semua perilaku manusia secara lahiriah maupun batinah.
            Berkaitan dengan pengembangan teknik evaluasi, ayat tersebut memberikan pelajaran bahwa kebudayaan manusia tidak ada yang tunggal, tetapi penuh dengan kemajemukan manusia tidak ada yang sepantasnya digali dan dijadikan sumber inspirasi pembelajaran, baik dalam pengembangan kurikulum maupun pelaksanaan pembelajaran yang diterapkan kepada anak didik yang memiliki perbedaan biologis, psikologis, fisik, mental, agama, dan status sosial ekonominya. Semua perbedaan dipelajari dan dijadikan rumusan dalam strategi pembelajaran sehingga kurikulum dan pelaksanaan pembelajaran berpedoman pada prinsip fleksibilitas dan kompetitif.
            Hasil pembelajaran merupakan wujud dari penerapan nilai-nilai interaksional serta perbedaan-perbedaan yang ada dalam diri manusia dan lingkungannya. Adapun evaluasi pendidikan pada peningkatan ketakwaan manusia, sebagaimana evaluasi pendidikan diarahkan kepada peningkatan kecerdasan intelektual sekolah maupun eksternal dalam pergaulan di masyarakat.
            Para pendidik yang berkewajiban mengevaluasi anak didiknya adalah yang mengajar dan mendidik siswa secara langsung, serta mengetahui karakter siswa dan keadaannya selama di kelas dan selama berlangsungnya proses pembelajaran. Sebagaimana Allah Yang Maha Mengenal dan Maha Mengetahui perilaku manusia maka Allah yang akan mengevaluasi manusia.[6]
F. Permasalahan Pendidikan Agama dalam Ujian Nasional
            Kebijakan mengujikan mata pelajaran PAI dalam UN dengan dibuat standar secara nasional selayaknya perlu ditinjau ulang. Tidaklah tepat alasan yang mengatakan mata pelajaran PAI menjadi materi UN agar juga diperhatikan sebagaimana mata pelajaran dalam UN lainnya. Jika diperhatikan, maka penghargaan terhadap mata pelajaran PAI hanyalah semu atau tidak nyata. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI sekadar berebut kelulusan. Tentu saja esensi mata pelajaran PAI akan menghilang dan tereduksi pada angka-angka kuantitatif semata. Siapa pun akan sulit membayangkan jika mata pelajaran PAI justru terjebak pada target perolehan angka. Mata pelajaran PAI dipelajari sekadar fokus pada target lulus UN. Dengan tujuan sukses UN, program pendalaman dan pengayaan materi dilakukan, bahkan digelar tryout untuk menguji kemampuan peserta didik. Akhirnya yang terjadi adalah perburuan nilai kuantitatif.[7]        
            Ada beberapa alasan kenapa sebaiknya mata pelajaran PAI tidak diikut sertakan kedalan Ujian Nasional diantaranya adalah, pertama, pada pasal 25 (4) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjelaskan bahwa kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ini berarti bahwa pembelajaran dan penilaian harus mengembangkan kompetensi peserta didik yang berhubungan dengan ranah afektif (sikap), kognitif (pengetahuan), dan psikomotor (keterampilan). Namun pada kenyataannya untuk menguasai ketiga ranah tersebut bukanlah perkara yang sepele bagi seorang pendidik.
            Sebagaimana pengertian evaluasi pembelajaran di atas, pelajaran PAI juga tidak hanya mempunyai satu sisi pengetahuan (kognitif) saja dalam tujuan pembelajarannya, akan tetapi juga masuk pada ranah afektif (sikap) dan psikomotorik (praktik). Bahkan justru kedua hal itulah yang menjadi inti dari pembelajaran PAI. Artinya bahwa PAI itu harus sampai pada ranah aplikatif atau praktek, tidak boleh hanya teoritik saja. Lantas bagaimana pelajaran PAI yang orientasinya berada pada kawasan aplikatif dipaksa untuk berhenti hanya pada orientasi nilai yang berupa ujian nasional. Tidak bisa tidak, pasti pemaknaan masyarakat terhadap agama lambat laun akan pincang.
            Kalau kita merujuk pada mata kuliah Psikologi Agama di sana akan ditemukan bahwa seseorang bisa dikatakan berhasil dalam belajar agama manakala dia dapat mencapai prestasi yang namanya rasa agama. Rasa agama adalah kristal-kristal nilai agama dalam diri manusia sebagai produk yang diperoleh dari prores internalisasi nilai-nilai agama yang kemudian diwujudkan secara aplikatif dalam bentuk perilaku. Artinya bahwa penilaian keberhasilan seseorang dalam belajar agama tidak mungkin dapat diukur melalui tes tertulis semacam ujian nasional sebagaimana yang mulai diuji cobakan pemerintah pada tahun ini, akan tetapi keberhasilan dalam belajar agama dapat dilihat melalui apakah terseorang tersebut sudah mendasarkan segala perilakunya pada norma dan ajaran agamanya atau belum.
            Kedua, Indonesia adalah bangsa yang multikultural, multidimensi dan beraneka ragam karakter penduduknya. Dalam hal beragama (Islam) pun banyak sekali macam-macam aliran yang dianut bangsa Indonesia. Kalau pelajaran matematika yang namanya 4+4 pasti sama dengan 8, sementara jumlah rakaat solat tarawih tidak harus sama dengan 8. Artinya perbedaan-perbedaan furu’ dalam aplikasi agama tidak dapat dihindaari. Contoh sederhana, ada sebagian masyarakat yang menganggap bawa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan adalah membatalkan wudhu (Syafi’iyyah), sementara sebagian yang lain menganggapnya tidak membatalkan (Malikiyyah). Dari segi fikih dasar saja sudah banyak perbedaan, bagaimana mungkin perbedaan-perbedaan dalam pemahaman agama seperti ini dipaksa untuk disatukan dalam bentuk ujian nasional. Misalnya ajaran dan praktek sehari-hari menggunakan pendapat bahwa tarawih+witir itu sebelas rakaat, sementara dalam ujian dituntut untuk menjawab bahwa tarawih+witir itu 23 rakaat karena memang kisi-kisi soalnya seperti itu.
            Ketiga, bergesernya cara pandang masyarakat terhadap agama. Dengan adanya ujian nasioanal pendidikan agama Islam lambat laun agenda tahunan ini akan menjadi kiblat untuk mengukur seberapa kualitas keberagamaan seseorang.  Ketika seorang siswa mendapatkan nilai bagus dalam ujian PAI maka itu akan menjadi seacam kesimpulan bahwa agama anak tersebut bagus. Pelajaran agama yang di ajarkan berbeda dengan matematika, geografi dan pelajaran umum lainnya, ada sisi lain yang harus dituju yaitu penanaman rasa agama kepada anak didik. Dengan PAI diseret untuk diujikan nasional dalam arti PAI akan digeser orientasinya dari orientasi penanaman rasa agama menjadi orientasi nilai berupa angka 6, 7, 7.5, 8 dan seterusnya.[8]
G. Kesimpulan
            Jika direnungkan, mata pelajaran PAI sebenarnya tak sekadar bertujuan agar peserta didik bisa bersyahadat, melaksanakan salat, berzakat, dan berpuasa. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI tidak sekadar bertujuan menghafal materi-materi yang diajarkan. Mungkin bisa saja peserta didik menghafal doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi mata pelajaran PAI memiliki tujuan lebih dari itu. Mata pelajaran PAI seharusnya menjadi energi menumbuhkan akhlak mulia dan menjadikan peserta didik mampu berkontribusi bagi kehidupan berdasarkan landasan agama. Memang bisa saja materi akhlak dijadikan soal-soal ujian dan peserta didik menjawabnya dengan tepat, tetapi itu tidak akan bermakna jika akhlak tidak terinternalisasi dalam kepribadian. Tantangan sebenarnya bukanlah pada apakah mata pelajaran PAI diperhatikan atau tidak, tetapi mampukah mata pelajaran PAI menjadi inspirasi membangun mentalitas peserta didik.
            Entah disadari atau tidak, dimasukkannya mata pelajaran PAI dalam UN akan cenderung menjadikan agama sekadar angka-angka. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI sekadar agar bisa lulus tanpa mampu menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Salah satu faktor terjadinya fenomena kemerosotan moral dan meredupnya nurani dalam masyarakat akibat belum terinternalisasikannya ajaran agama secara mendalam.[9]
            Sistem Evaluasi memang seharusnya digunakan dalam mata pelajaran PAI sebagai acuan penilaian terhadap mata pelajaran ini, hanya saja penggunaan evaluasi lebih cenderung ke masalah psikologi (perilaku) dan penerapan dari peserta didik dan evaluasi dalam bentuk angka hanya digunakan dalam semesteran atau ujian praktek yang merupakan kebijakan pemerintah dan sekolah sejak dulu.
            Sekarang, kalangan generasi muda semakin hari semakin tidak terkontrol perilakunya. Sikap mental pragmatis yang menyukai perilaku instan dijumpai di kalangan generasi muda. Adanya kondisi itu seharusnya menantang para pelaku pendidikan untuk merevitalisasi mata pelajaran PAI agar memiliki jiwa memperbaiki akhlak generasi muda.[10] Harus senantiasa melakukan pengamatan dan kritik atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dan juga lebih memahami konsep evaluasi dalam pendidikan Islam.






[2] Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2010, hlm 307
[3] Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam jilid II, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm 203
[4] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), cetakan kedua, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm 136
[5]Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), cetakan kedua, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm 144
[6] Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam jilid II, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm 215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar