Rabu, 21 Desember 2011

Cerpen Ibu


Ibu, sebuah kata yang asing bagiku

“Sisi, apa yang kamu fikir kan? Kenapa kamu belum tidur sudah selarut ini?” Kata Kepala panti asuhan tempat ku tinggal ketika melihat ku berdiri di samping jendela kamar menatap keluar. Menerawang jauh dikegelapan malam, seolah mencari sosok yang selama ini hilang dari hidupku. Aku tahu bahwa sekarang sudah menunjukkkan pukul 00.00, anak panti yang lain pasti sudah terlelap dengan mimpi-mimpi indahnya. Tapi aku, aku tidak bisa memejamkan mata malam ini setelah apa yang ku dengar tadi sore.
“Sisi, ada sepasang suami istri yang akan mengadopsimu.” Kata Kepala panti padaku. “Ayo berkemas, besok mereka akan menjemputmu”. Aku tidak tahu harus merasa senang atau sedih, sudah hampir 17 tahun aku tinggal dipanti ini dan aku tidak pernah berfikir sekalipun bahwa akan ada orang tua yang akan mengadopsiku, membawaku keluar dari panti ini. Lingkungan yang selama ini seolah menjadi duniaku, lingkungan yang membesarkanku dan mengajariku banyak hal tentang kehidupan.
Pasalnya, aku melihat sesuatu yang berbeda dari calon ibuku itu. Dia selalu menatapku dengan tatapan yang berbeda, tatapan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Bahkan tadi, saat dia melihatku, dia langsung memelukku dengan mata berkaca-kaca. Tapi saat aku mengatakan hal itu pada Kepala panti, dia hanya berkata bahwa itu hanya ungkapan perasaan senangnya karena dia akan memiliki seorang anak setelah beberapa tahu menikah tapi tidak memiliki seorang anak pun. Aku hanya mengangguk mendengarnya, walaupun aku masih merasakan kejanggalan.
***
Mata hari pagi bersinar cerah diupuk timur, kicauan burung seolah menyanyikan tentang pagi yang cerah. Dan aku, aku sibuk didalam kamar kecilku yang akan aku tinggalkan pagi ini. Tadi subuh, dikarenakan aku tidur terlalu larut, aku hampir saja tidak shalat subuh jika tidak dibangunkan oleh pengurus panti. Setelah shalat dan melantunkan beberapa ayat-ayat cinta dari Allah, aku langsung mandi dan segera berkemas. Biarpun kejadian ini masih membingungkan bagiku dan menimbulkan sedikit rasa sedih, tapi akupun tidak bisa menutupi rasa bahagiaku karena akan memiliki orang tua.
“Sisi, kamu sudah siap?” salah satu pengurus panti memasuki kamarku dan bertanya. Kemudian membantuku berkemas karena orang tua angkatku sudah datang.
“Kamu ini kenapa baru berkemas? Bukannya sudah diberi tahu sejak kemarin sore?”
“Maaf  Bu, mungkin aku terlalu senang, sehingga tidak terfikir sama sekali untuk berkemas.”
“Ya sudah, ayo cepat berkemasnya!”
Setelah selesai berkemas, aku keluar kamar menuju ruang tamu dimana orang tua angkatku menungguku bersama Kepala panti. Sebelum keluar, aku melihat ke sekeliling kamar, kamar yang selama ini menjadi tempat aku melakukan banyak hal. Aku sempat menitikkan air mata namun segera ku hapus dan secepat mungkin menuju ke luar.
“Sisi, kamu sudah siap?” Tanya Kepala panti padaku.
“Sudah Bu.” Aku menjawab sambil mengangguk dan mataku yang tidak pernah lepas dari kedua orang tua angkatku.
“Ini orang tuamu sudah menunggumu dari tadi. Mereka akan menjemputmu dan membawamu ketempat yang baru. Kamu jangan melakukan hal-hal yang tidak baik disana nanti, jadilah anak baik buat mereka. Jangan melupakan apa yang sudah diajarkan dipanti ini.” Kata Kepala panti padaku panjang lebar. Aku hanya mengangguk menjawab perkataannya.
“Ini Pak, Bu. Sisi sudah siap. Silahkan dibawa, terima kasih sudah mau menerimanya dikeluarga Bapak dan Ibu.”
“Iya Bu, sama-sama. Saya juga mengucapkan terima kasih karena sudah mengurus Sisi selama ini dan sekarang mengijinkan kami untuk mengadopsinya.” Kata suami dari pasangan suami isrti itu.
Aku hanya menyaksikan percakapan itu tanpa berkata sepatah katapun. Setelah mereka selesai berbicara, mereka membawaku keluar menuju mobil yang terpakir dihalaman panti. Setelah aku selesai bersalaman dan pamitan kepada semua penghuni panti, aku berjalan beriringan dengan mereka. Namun, langkahku terhenti disamping mobil dan menoleh kembali kebelakang. Ku lihat semua wajah orang-orang yang selama ini menemaniku dan berbagi denganku serta ku lihat papan yang bertuliskan “Panti Asuhan Sinar Ibu”, panti yang selama ini tempatku berlindung dan tempatku mendapatkan kasih sayang. Setelah puas melihat  untuk yang terakhir kalinya karena aku akan dibawa pergi keluar kota menuju rumah baruku dan akan tinggal bersama orang tua baruku, aku masuk kemobil dan ketika mobil mulai berjalan aku lambaikan tangan ku dengan tetesan air mata.
***
Perjalan terjauh yang pernah aku alami, aku tertidur karena lelah. Dan ketika sampai di kota yang dituju, aku terbangun. Suasana kota yang benar-benar berbeda dari tempatku sebelumnya dengan keindahan malam dan sorot lampu dimana-mana.
“Sisi, kamu suka kota ini?” Katanya sambil memandangku.
“Iya, aku menyukainya.” Jawabku sambil menoleh padanya dan kembali melihat keluar mobil.
Kota baru yang ku datangi benar-benar asing buatku. Disini saat malam pun orang-orang ramai berada diluar rumah dan masih menjalankan aktivitas masing-masing. Sedangkan di panti, mungkin karena pantiku berada di desa yang kecil dan tenang, aku jarang sekali menemukan keramaian seperti ini dimalam hari. Lampu-lampu jalan yang seolah menjadi hiasan kota, orang-orang yang berlalu lalang disertai kendaraan bermotor yang memenuhi jalan, dan gedung-gedung tinggi yang seolah-olah menyentuh langit.
Setelah menempuh perjalanan kira-kira 8-9 jam, akhirnya aku dan orang tua angkatku sampai dirumah. Rumah yang akan menjadi rumahku juga, tempat dimana aku akan melakukan banyak hal, mungkin sampai akhir hayatku. Sebuah rumah yang tidak pernah ku bayangkan sebelumnya bisa aku tempati, rumah yang besar dan megah, bergaya minimalis dengan taman kecil di depannya. Disebuah komplek perumahan elit, yang mana hanya rumah-rumah megah yang berada disini.
Aku dibawa masuk kerumah dan diperlihatkan banyak hal yang belum pernah aku lihat secara langsung. Hiasan-hiasan rumah yang biasanya hanya aku lihat di tv, sekarang aku lihat secara langsung. Aku dibawa menuju sebuah kamar yang akan menjadi kamarku, sebuah ruangan yang sepertinya memang sudah di persiapkan untuk seorang anak perempuan. Dengan warna dasar ungu dan pink serta banyak boneka yang ditata dengan rapi.
Aku masuk dan langsung menuju ke sebuah jendela kaca yang berada dikamar, aku buka tirainya dan dari sini aku bisa melihat sebuah pemandangan yang indah. Karena kamar ini berada di lantai dua, jadi jika aku melihat kebawah maka akan terlihat taman kecil dengan bunga-bunga yang indah serta rumput hijau yang sepertinya dirawat dengan rapi. Aku juga bisa melihat bulan yang indah serta bintang-bintang yang menghiasi langit malam menemani rembulan.
***
“Sisi, ayo bangun sayang!” Suara Mama dipagi hari membangunkan ku sambil membuka tirai. Aku sudah hafal apa yang Mama lakukan setiap paginya, karena sudah hampir setahun aku berada disini. Aku sudah akrab dengan suasana rumah ini dan orang-orang yang berada didalamnya.
“Hemmm.. memangnya ini jam berapa sih Ma? Sisi masih ngantuk ni.” Aku berkata sambil terus memejamkan mata. Mama menuju tempat tidurku dan memegang ku dengan perasaan sayangnya.
“Sayang, ini sudah waktunya subuh. Kamu tidak shalat subuh?”
“Iya Ma, Sisi shalat kok. Tapi sebentar lagi ya.”
Karena jawabanku itu, Mama langsung menggelitikku dan menyuruhku segera bangun. Hal ini hampir setiap pagi terjadi, selalu ada canda tawa yang terjadi antara kami setiap paginya. Aku tidak tahu kenapa setelah aku tinggal disini, aku menjadi anak yang manja. Dan keluarga ini pun sangat memanjakan ku. Wanita yang kupanggil Mama ini pun menyayangi ku, seolah dia yang melahirkan ku. Wanita berjilbab ini, membuat ku menjadi gadis manja yang cerdas dan shaleha. Dia mengajari ku berjilbab dengan sabarnya, sampai akhirnya sekarang aku pun berjilbab. Kelurga ini memang keluarga yang cukup kaya, tapi mereka tidak pernah memanjakan aku dengan harta mereka, tapi mereka memanjakan ku dengan kasih sayang dan perlakuan mereka.
Disini, aku seakan lupa pada masa laluku. Masa lalu dimana aku tidak punya orang tua, tinggal di panti asuhan dan belajar disekolah yang sederhana. Sedangkan disini, aku tinggal di sebuah rumah yang mewah dengan orang tua yang lengkap dan menyayangiku, belajar disekolah yang mahal dan berkualitas, bahkan aku mengikuti beberapa privat diluar jam sekolah. Disini, waktu ku seolah sangat berharga, sehingga ada banyak hal aku lakukan.
***
Aku sangat sibuk hari ini, besok adalah hari ulang tahun ku yang ke 18. Ini kali pertamanya aku merayakan ulang tahun secara besar-besaran, orang tua ku mempersiapkan semuanya buat ku. Selama dua hari persiapannya dilakukan, mulai dari dekorasi, gaun ku, dan segala macam ornamen ulang tahun lainnya.
Dan hari ini adalah hari yang sangat berharga untukku, acara ulang tahun ku. Diwajahku selalu hadir senyum bahagia, apalagi disaat teman-temanku datang. Sampailah di acara utama, acara yang sedari kemarin ku tunggu-tunggu.
“Terimakasih kepada teman-teman Sisi yang sudah menyempatkan diri datang ke acara ini” Kata seorang pembawa acara membuka acara. “Untuk mempersingkat waktu, kita langsung saja mendengarkan sambutan dari yang berbahagia hari ini. Sisi...” Tepuk tangan riuh dari para tamu yang hadir membahana di ruangan rumahku dan aku pun segera mengucapkan beberapa patah kata sembari terus tersenyum karena bahagia.
Dilanjutkan sambutan oleh kedua orang tuaku, awalnya aku terkejut karena kedua orang tua ku sempat bertukar pandang dan terdiam sampai akhirnya Papa mengucapkan beberapa kata.
“Terimakasih untuk teman-teman Sisi yang udah datang ke acara ulang tahun Sisi yang ke 18 ini.” Papa menarik napas panjang dan terlihat kecemasan di wajahnya. “Hari ini adalah hari ulang tahun Sisi, anak kami yang sudah setahun ini bersama kami. Dan hari ini, kami akan memberitahukan kepada semuanya termasuk Sisi, bahwa Sisi adalah anak kandung kami yang hilang 17 tahun lalu dan bukan hanya seorang anak angkat dikeluarga ini.”
Aku syok mendengar hal itu. Aku anak kandung keluarga ini, bagaimana bisa. Kenapa baru sekarang mereka memberi tahu ku, dan kenapa mereka baru mencari ku setelah 17 tahun berlalu. Kenapa aku bisa hilang. Berbagai pertanyaan tiba-tiba saja memenuhi otakku. Kepala pusing memikirkan jawabannya, air mata ku pun tumpah tidak bisa ku tahan. Dan akhirnya, aku jatuh pingsan di lantai dengan pipi yang basah oleh air mata.
***
Acara ulang tahun ku selesai sebelum waktunya, semua tamu pulang setelah acara ditutup oleh pembawa acara. Dan aku, aku dibawa menuju kamarku dalam keadaan tidak sadar dan dibaringkan ditempat tidur. Mama mengeluarkan air mata, dia duduk ditepi tempat tidurku sambil terus mengelus kepalaku.
“Maafkan Mama sayang. Mama benar-benar minta maaf.”
“Kamu harus mendengarkan penjelasan Mama. Ayo bangun sayang”
Setelah kurang lebih satu jam, akhirnya aku pun sadar. Perlahan ku buka mataku, ku edarkan pandanganku kesekeliling kamar. Kulihat papa berdiri disamping mama yang duduk disampingku.
“Aku kenapa Ma? Pesta ku bagaimana?”
“Kamu tenang dulu ya sayang. Kamu tadi pingsan dan akhirnya semua teman kamu pulang.” Papa menjawab pertanyaan ku dan Mama terdiam dengan air mata yang terus mengalir.
“Pingsan?” Aku akhirnya ingat lagi dengan semua kata-kata Papa pada acara ulang tahun ku tadi. Aku pun akhirnya menangis lagi sambil terus bertanya kebenaran dari perkataan itu.
“Maafkan Mama sayang, Mama baru bisa memberi tahu mu sekarang. Mama tidak punya maksud apa pun, Mama sayang sama Sisi dan Mama tidak mau liat Sisi marah sama mama.”
“Tapi kenapa baru sekarang Ma, kenapa tidak dari awal saat Mama dan Papa mengadopsi Sisi dipanti dan kenapa Mama dan Papa baru menjemput Sisi setelah 17 tahun Sisi tinggal dipanti dan merasa benar-benar tidak memeliki orang tua.”
“Sisi setiap malam selalu melihat keluar jendela, menatap kegelapan malam. Dan Sisi seolah menemukan sosok orang tua Sisi disana. Itu yang membuat Sisi selama ini kuat dan tidak pernah mengeluh soal orang tua. Apa mama dan papa tahu hal itu?”
Suasana hening sesaat, yang terdengar hanya suara isak tangis aku dan mama.
 “Sisi mau sendiri dulu sekarang. Mama dan Papa bisa keluar dari kamar inikan?”
“Tapi sayang..”
“Sudahlah Ma, kita biarkan Sisi sendiri dulu. Dia masih bingung dan terkejut dengan keadaan ini.” Kata Papa sambil membawa Mama bangkit dari tempatnya duduk dan membawanya keluar.
“Terimakasih Pa.”
Aku terus memikirkan hal itu, aku bangkit menuju jendela kamar. Kubuka tirainya dan aku melihat keluar. Menatap jauh, menerawang di kegelapan. Rintik-rintik hujan mulai jatuh membasahi bumi seolah ikut merasakan kesedihanku. Bulan dan bintang pun seolah enggan menemani dan menghiburku. Rintik hujan pun berubah menjadi hujan yang deras di iringi air mata ku yang tidak bisa ku hentikan. Aku terpaku disamping jendela, berdiri tegak sambil terus menapat dikegelapan seolah mencari jawaban dari pertanyaanku di antara tetesan hujan. Ku julurkan tangan ku keluar dan merasakan tetesan hujan ditanganku sambil memejamkan mataku. Aku ingin merasakan ketenangan dihatiku, aku ingin perasaan seperti sekarang ini menjauh dari hatiku. Aku sangat tersiksa dengan hal ini.
Aku kembali ketempat tidurku, pukul 03.00 aku baru bisa terlelap tidur.
***
Aku terbangun dipagi hari saat matahari pagi membelaiku dengan hangatnya. Jendela kamar yang semalam tidak aku tutup membuat matahari pagi leluasa masuk dan membangunkan ku. Mata ku sembab karena tangisan ku semalam. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi dengan lemas. Tenagaku seolah terkuras habis seiring dengan air mataku yang tadi malam terus keluar.
Setelah mandi dan berpakaian rapi, aku menuju ke ruang makan yang berada di lantai 1. Aku melihat papa dan mama yang juga terlihat lelah dari raut wajah mereka.
“Pagi Ma, Pa.” Aku menyapa mereka dan mencoba tersenyum.
“Pagi sayang. Ayo sarapan.”
Aku duduk di samping mama dan memakan roti yang sudah di siapkan mama.
“Ma, Pa, Sisi mau tanya sesuatu, boleh?” Kata ku disela makanku. Aku melihat mereka berdua menatapku.
“Boleh sayang, kamu mau tanya apa. Mama dan Papa akan mencoba menjawabnya semampu kami.”
 “Sebenarnya Sisi hilang dulu karena apa?” Aku berusaha sekuat tenaga tegar dan tidak menangis ketika menanyakan hal itu.
“Dulu, mama dan papa sangat bahagia bisa memilikimu. Kami membawamu yang saat itu masih bayi berlibur ke sebuah kota, kami duduk di sebuah kursi taman. Saat itu taman sangat ramai dan disaat kami lengah kamu hilang entah kemana. Kami yang baru menyadari akan hal itu langsung mencari mu kesekeliling taman namun sampai hari menjelang malam pun kami tidak menemukanmu. Mama sempat syok kehilangan kamu tapi kami terus mencari selama seminggu tapi hasilnya nihil. Akhirnya kami kembali kekota ini dengan perasaan hancur karena kehilanganmu.”
“Kami tidak pernah berhenti mencarimu. Kami menyewa beberapa orang terpercaya untuk mencarimu. Sampai akhirnya setelah 17 tahun menunggu, kami akhirnya mendapatkan informasi bahwa kamu berada di panti itu.”
Aku dengan seksama mendengar cerita itu dan tanpa aku sadari air mata ku jatuh membasahi pipi ku. Aku benar-benar tidak menyangka kejadian itu telah terjadi padaku. Aku pun tidak pernah memikirkan banyak hal yang telah dilakukan orang tua ku untuk mencari ku dan perasaan mereka saat kehilangan ku pun tidak bisa ku bayangkan.
Aku memeluk Mama yang berada disampingku yang sudah menangis sedari tadi ketika menceritakan hal itu. Papa pun bangkit dari tempat duduknya dan memeluk ku dan mama. Kami bertiga larut dalam suasana haru bercampur bahagia pagi ini. Dan aku sekarang benar-benar menemukan sosok orang tua yang aku cari selama ini. Bisa terus memanggil mama, seorang ibu yang melahirkan ku dan selama ini merindukanku. Ibu, sebuah kata yang selama ini tidak pernah ku sebut dan asing bagiku, sekarang bisa terus ku sebut untuk mamaku. Mama yang sangat aku sayangi.

Sabtu, 26 November 2011

Dilema


DILEMA

“Huh” aku menghempas tubuhku keatas kasur untuk membuang semua kepenatan. Dari kemarin, otakku selalu penuh dengan pikiran tentang dua orang cowo yang sebenarnya sangat-sangat gak penting untuk dibahas. Tapi rasnya pikiran itu berhasil membuat nafasku terasa sesak, berasa punya beban berat gitu.
“Ca..” terdengar suara mama memecah lamunanku. “Cahaya!!”
“Iya ma..” jawabku segera. “Ada apa sih? Kok pake teriak-teriak segala?”
“Itu diruang tamu ada temen kamu yang nyariin kamu.”
“hemmmm siapa?”
“Katanya namanya Kurniawan.”
“Apa?” Aku kaget banget dengar nama itu. Ada perlu apa dia kemari? Ini baru pertama kalinya dia datang kerumahku.
Kurniawan adalah temen kuliahku, dijurusan yang sama namun beda kelas. Dan dia adalah salah satu cowo yang berhasil membuat fikiran ku kalut banget kayak gini.
***
Dengan langkah yang dipaksakan, aku menuju ruang tamu untuk menemui Kurniawan. Sebenarnya malas sih, tapi dikarenakan adanya perintah untuk memuliakan tamu, mau nggak mau aku harus tetap menemuinya.
“Hai Ca” sapanya begitu dia melihatku.
“Hai” jawabku dengan nada malas. “Ada perlu apa? Tumben kesini?”
“Nggak, aku tadi Cuma kebetulan lewat sini, jadi aku mampir deh. Nggak ganggukan?
“Oh nggak” kataku sambil tersenyum. Walaupun alasannya menurutku nggak masuk akal.
Sebenarnya aku lagi malas mau ketemu dia, karena masalah itu.
***
Pagi yang cerah untuk jiwa yang hampa. Kalut semeraut gak menentu. Walaupun dengan malas dan dengan mata yang masih mengantuk, aku paksakan diriku untuk pergi kekampus.
Begitu sampai kampus, aku Cuma duduk dengan lesu dan tidak ada semangat buat dengarin ocehan dosen. “Huh”
“Ca!!” Sasa teman disampingku mengagetkanku. Dikarenakan aku selalu saja melamun setelah hari itu. Hari dimana ada kejadian yang membuat aku seperti sekarang ini.
***
Hari itu hari jumat pagi. Awalnya aku menjalankan aktivitasku seperti biasa, sampai akhirnya maslah dimulai. Siapa sih yang bakal nyangka kalau aku bakalan dimarahin sama cewe yang nggak aku kenal sama sekali, ditempat ramai kayak gitu.
“Heh, cewe centil!” katanya sambil mendorong bahuku.
“Ada apa ni?! Maksudnya apa marah-marah kayak gini?’ jawabku kesal karena kaget dan tidak terima diperlakukan seperti ini.
“Nggak usah pura-pura nggak tahu deh. Dasar cewe centil, bisanya ngerebut pacar orang. Nggak bisa ya cari cowo lain.”
“Maksud kamu? Pacar siapa?” aku benar-benar nggak ngerti.
“Udahlah, banyak tanya lagi. Kamu itu nggak usah sok kecentilan sama Kurniawan, dia itu pacar aku. Dan aku nggak suka kalau kamu dekat-dekat sama dia. Ngerti?”
“Eh, tunggu dulu. Aku sama Kurniawan itu nggak ada apa-apa, kita cuma teman. Dan kamu nggak perlu salah paham kayak gini.”
“Nggak mungkin, Kurniawan itu suka sama kamu. Dan itu pasti karena kamu yang kecentilan sama dia. Kurniawan itu nggak mungkin kayak gitu kalau bukan kamu yang mulai duluan.” Katanya dengan nada membentak dan dengan keras.
“Pokoknya aku nggak mau, kalau aku liat kamu masih dekatin Kurniawan lagi.”
“Ya ampun, ini cewe nggak bisa ya ngomong baik-baik dulu. Memangnya dia nggak malu diliatin orang sebanyak ini.” Kataku dalam hati.
Setelah dia pergi, aku melihat semua orang melihat padaku. Sebenarnya aku nggak mau memperdulikan perkataannya, tapi aku benar-benar penasaran saat dia mengatakan bahwa Kurniawan suka sama aku. Akhirnya aku putuskan untuk menemui Kurniawan.
Setelah keliling kampus akhirnya aku ketemu sama Kurniawan. Ternyata dia ada dikelasnya. Aku langsung saja menanyakan padanya perihal kejadian tadi.
“Wan, kamu punya pacar ya?” tanyaku dengan hati-hati.
“Bukannya aku mau tau soal urusan pribadi kamu. Aku Cuma nanya aja kok, karena tadi ada cewe yang nemuin aku dan bilang kalau dia pacar kamu. Kalau kamu nggak mau jawab juga nggak apa-apa kok.” Lanjutku karena dia nggak menjawab pertanyaanku.
“Iya, aku punya pacar. Namanya Putri.” Kurniawan menjawab tanpa menoleh kepadaku yang duduk disampingnya.
Suasana hening sesaat. Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi.
“Dia nggak suka kalau aku dekat-dekat sama kamu. Dia juga tahu kalau aku suka sama kamu. Sebenarnya aku udah ngajakin dia putus kemarin, tapi dia masih nggak mau.”
“Apa? Ternyata Kurniawan benar-benar suka sama aku. Kok dia nggak pernah bilang sama aku.” Kata ku dalam hati.
“Pasti kamu kaget ya Ca dengarnya?”
Aku Cuma mengangguk sambil terus menatapnya dan menunggunya memberi penjelasan.
“Sebenarnya aku udah lama suka sama kamu, bahkan aku udha sangat sayang sama kamu. Aku nggak pernah benar-benar berharap miliin kamu, dengan aku bisa dekat sama kamu seperti sekarang pun aku sudah cukup senang. Makanya aku nggak pernah bilang sama kamu tenetang hal ini karena aku takut kamu nggak suka.”
Ku tarik  nafas dalam-dalam dan ku hembuskan dengan berat setelah mendengar hal itu. Dan aku berlari keluar kelas untuk melampiaskan rasa kaget dan bingungku. Aku merasa kecewa bukan karena pengakuan Kurniawan, tapi kenapa dia baru mengatakan sekarang setelah apa yang terjadi padaku tadi.
***
Aku mencoba menenangkan diriku di perpustakaan dengan membaca beberapa buku. Tapi aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Dan masalah baru muncul.
Hp ku berdering, ada sms masuk di hp ku. Sms itu datangnya dari Erlangga, sahabatku yang tiga tahun lalu pergi ke Amerika kareana mendapatkan beasiswa dan membuat perasaanku pada tertahan dan tersimpan rapi didalam hatiku.
“Hai Ca. Apa kabarmu? Aku udah di Indonesia sekarang dan aku mau ketemu kamu. Aku tunggu kamu ya, nanti sore di Cafe kita dulu. Miss you.” Kira-kira begitulah isi smsnya.
Oh Tuhan, aku benar-benar belum siap ketemu dia sekarang. Aku masih menyimpan perasaan padanya walaupun sejujurnya aku sudah mulai menyukai Kurniawan. Aku benar-benar bingung sekarang.
***
Saat aku sampai didepan “Cafe Pelangi” cafe yang dulu selalu aku dan Erlangga kunjungi. Aku melihat sosok yang tidak asing dimataku. Sosok yang sudah tiga tahun ini tidak kulihat. Dia yang dulu selalu menemanilu selalu bersamaku, menghabiskan waktu bersama. Dia sama sekali tidak berubah hanya saja sekarang dia terlihat lebih rapi.
Dia tersenyum manis saat melihatku. Senyum yang sama seperti saat dia meninggalkanku. Akupun berusaha membalas senyumnya walaupun dengan beban berat dikepalaku.
“Apa kabar Ca?”
“Baik. Kamu sendiri apa kabar.”
“Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat sekarang. Aku baik-baik saja. Katanya sambil tersenyum. Dia memang orang sangat suka tersenyum dan itu yang membuatku suka padanya selain semua sikapnya.
***
Dan sampai hari ini, maslah itu belum juga selesai. Sudah seminggu mereka bersamaku, terlebih Erlangga. Dia benar kembali sekarang, kembali seperti dulu.
Kurniawan udah putus sama Putri dan semakin membuatku bingung karena hal itu. Sejujurnya aku senang dengan semua sikap dia padaku dan semua perhatiannya. Tapi disisi lain aku benar-benar belum bisa menerima dia karena masih ada Erlangga dihatiku.
Semakin hari, keduanya seperti berlomba untuk mendapatkan perhatianku. Ditambah lagi satu sama lain saling mengetahui perasaan masing-masing.
Dan sekarang aku terlalu sibuk untuk bersama mereka. Karena jika salah satu saja aku tolak saat mengajak ku pergi, aku takut itu akan mengecewakannya.
Hari ini aku akan makan malam diluar bersama Erlangga, sebernya waktuku memang lebih banyak bersama Erlangga. Sama seperti dulu, dia selalu saja bersamaku. Dia bisa menemuiku dirumahku jika kami tidak pergi keluar, karena dia dan keluargaku sudah saling mengenal.
“Kita mau makan dimana ini Ca?” tanyanya padaku saat kami berdua berada didalam mobilnya.
“Terserah kamu saja mau makan dimana, aku ngikut saja.”
“Gimana kalau kita makan dicafe pelangi saja? Aku setujukan.”
“Boleh juga. Aku udah lama nggak makan disana.”
Selama perjalanan aku hanya terdiam karena sebenarnya sedari tadi aku merasakan ada sesuatu yang akan terjadi. Dan hal itu benar-benar terbukti saat aku dan Erlangga sampai di cafe pelangi. Dia mengungkapkan perasaannya padaku, dengan sungguh-sungguh.
“Ca, sejujurnya aku sangat sayang sma kamu. Bukan hanya sebagai sahabat tapi juga lebih dari itu.  Selama di Amerika aku benar-benar ngerasa nggak bisa jauh dari kamu dan aku nggak berniat sama sekali buat pacaran sama cewe lain selain kamu. Aku menyesali kenapa hal ini nggak aku sadari dari dulu, sebelum aku pergi waktu itu.”
“Ca, kamu mau kan memulai semuanya dari awal bersamaku?”
Aku benar-benar bingung, aku nggak tahu harus jawab apa sekarang. Sebenarnya Kurniwan juga mengharapkan hal yang sama dengannya. Aku benar-benar nggak mau mengecewakan siapapun.
Akhirnya aku meminta waktu padanya untuk memikirkan hal ini, karena jujur aku masih sangat-sangat terkejut. Dia mengerti dan memberikan waktu padaku sampai aku benar-benar siap buat menjawabnya.
***
Setelah semalaman aku memikirkan hal itu, akhirnya aku putuskan untuk menemui mereka bersama hari ini, ku kirim pesan pada mereka untuk menemuiku sore ini di cafe pelangi.
“Hai Ca. Eh, ada Kurniawan juga.” Sapa Erlangga saat dia melihat aku dan Kurniawan sudah bersama.
“Hai juga Ngga. Ayo duduk.” Kataku padanya.
“Iya.”
Suasana hening sesaat. Tidak ada satupun yang berkata, aku melihat keheranan diwajah mereka, kenapa aku mengajak mereka bertemu bersama. Akhirnya aku memulai pembicaraan, mencoba menjawab keheranan mereka.
“Gini Wan, Ngga. Aku membawa kalian bertemu disini karena aku ingin menyelesaikan semuanya. Aku akan menjawab pertanyaan kalian selama ini. Jujur, aku benar-benar bingung saat masing-masing dari kalian mengungkapkan perasaan kalian padaku. Dan aku sudah berusaha memikirkannya sebaik mungkin, aku harap keputusan yang aku ambil ini adalah yang terbaik buat kita semua.”
“Iya Ca, apa pun keputusanmu, kita  akan berusaha menerimanya. Iyakan Ngga?”
“Iya. Ca, aku akan terima apapun keputusan kamu. Asalkan itu benar-benar buat kamu bahagia.”
Kutarik nafas dalam-dalam sebelum aku mengatakan keputusan ku pada mereka.
“Terimakasih kalian mau ngertiin aku. Aku benar-benar udah memikirkan hal ini. Dan akhirnya aku putuskan untuk tidak memilih salah satu dari kalian.”
“Apa Ca?” Kata Erlangga kaget. “ Maksud kamu, kamu nggak memilih kita berdua? Kenapa?”
“Aku tahu kalian pasti terkejut dengan keputusan ku ini. Aku rasa ini yang terbaik. Aku benar-benar nggak mau nyakitin siapa pun, karena aku fikir jika aku milih salah satu dari kalian pasti akan ada yang ngerasa kecewa. Walaupun aku tahu kalian pasti bisa menutupi perasaan itu, tapi aku benar-benar bingung buat milih diantara kalian.”
“Kalian tenang aja, aku nggak nyuruh kalian buang perasaan kalian sama aku kok. Kalian masih punya hak buat itu, dan aku nggak berhak nyuruh kalian membuangnya begitu saja hanya karena aku nggak bisa milih kalian. Aku harap kalian masih mau berteman sama aku, karena aku masih membutuhkan kalian sebagai temanku.” Aku mencoba menjelaskan sebaik mungkin pada mereka sebisa ku. “ Maafin aku, aku benar-benar minta maaf.”
“Oke Ca, kita terima keputusan kamu.” Erlangga akhirnya berkata setelah cukup lama terdiam dan setela dia dan Kurniawan saling pandang.
“Iya Ca, kita benar-benar hormati keputusan kamu.” Sambung Kurniawan.
“Terimakasih. Terimakasih banyak.”
“Iya Ca, sama-sama.” Jawab keduanya serempak.

The End